Di sebuah desa bernama Desa Medayu, terdapat banyak sekali kebun tebu yang luas, di sana tinggallah Pak Irham, ia seorang yang bekerja sebagai pembuat gula, ia hidup bersama anak laki-lakinya yang bernama, Yuda. Setiap hari, Pak Irham membuat gula putih mengunakan air tebu yang dimasaknya hingga mengental. Gula-gula tradisional hasil buatannya itu sangat terkenal karena rasanya yang enak dan proses pembuatannya yang masih alami, sehingga banyak pembeli yang berdatangan dari desa lainnya.
Namun, meski begitu terdapat satu hal yang selalu membuat Pak Irham kesal, yaitu hewan semut. Pasalnya, gula yang baru jadi selalu dikerubungi oleh banyak kawanan semut yang berdatangan. Pak Irham pun menjadi kesal dan seringkali mengeluh sambil mengipasi gula yang dikerumuni semut itu.
“Ya ampun, ada semut lagi! Belum juga dingin, mereka sudah berdatangan lagi!” ucapnya sambil mengibas-ngibaskan sapu lidi untu mengusir semut-semut itu.
Yuda yang sedang membantu membungkusi gula pun berkata pelan, “Mungkin mereka sangat lapar, Yah. Kasihan, pasti mereka sudah mencium aroma manis dari jauh.”
Tidak pada hari itu saja, pada hari selanjutnya Pak Irham larut dan kehilangan kesabarannya. Ia pun mulai mengambil obat serangga dan menyemprotkannya ke arah semut-semut yang berjalan berbaris ke arah gula-gula yang dibuat Pak Irham.
“Aduuuhh ini sudah keterlaluan namanya! Gula ini aku buat untuk dijual, bukan untuk dijadikan makanan semut!” omel Pak Irham sambil menyemprot lantai dan meja yang dilewati semut-semut itu.
“Ayah! Jangan semprot mereka! Nanti mereka mati!” teriak Yuda yang tiba-tiba datang, sambil mencoba menyingkirkan beberapa semut ke luar jendela.
“Kalau Ayah biarkan, bisa-bisa semua gula ini akan dipenuhi oleh semut. Dan Ayah bisa rugi besar!” jawab Pak Irham dengan nada tinggi, karena ia merasa sangat kesal.
Mendegar jawaban ayahnya dengan nada tinggi itu, membuat Yuda pun seketika menunduk. Ia sebenarnya tak tega melihat semut-semut itu tergeletak tak bernyawa. Namun, ia juga tahu ayahnya marah bukan tanpa alasan, tapi baginya membunuh juga bukan cara yang benar.
Malamnya, Yuda duduk termenung di teras rumahnya. Ia terus memandangi meja tempat ayahnya meletakkan cetakan gula.
“Kalau saja aku bisa membuat semut-semut itu menjauh, pasti Ayah tidak akan membunuh semut-semut itu,” gumamnya lirih.
Dalam lamunannya itu tiba-tiba ia mendapatkan ide. “Kalau memang semut datang karena gula, kenapa tidak aku beri gula saja, tapi di tempat yang jauh dari rumah?” pikirnya.
Keesokan paginya, Yuda mengikuti semut, ia menelusurinya sampai akhirnya ia menemukan sarang semut di balik tanah yang sedikit menonjol. Lubangnya kecil, tapi terlihat banyak semut-semut keluar masuk dari sana.
“Jadi, kalian tinggal di sini, ya,” bisik Yuda sambil tersenyum.
Ia lalu kembali ke dapur untuk mengambil sejumput gula pasir, dan menaruhnya pelan-pelan di dekat sarang semut. “Semoga kalian kenyang ya dan jangan ke dapur lagi, supaya kalian selamat dan bisa hidup tenang.” ujar Yuda lirih, seolah berbicara dengan para semut.
Hari berikutnya, Pak Irham kembali membuat gula. Ia menunggu semut-semut itu datang dengan semprotan pestisida seperti biasanya, tapi ternyata tidak ada satu pun semut yang terlihat.
“Eh? Ke mana mereka?” batinnya heran.
Yuda yang sedang menyapu berkata santai, “Mungkin mereka punya sumber makanan lain, Yah.”
Pak Irham melirik curiga. “Kamu beri apa pada mereka?”
Yuda menggeleng cepat. “Tidak! Aku hanya memberi mereka sedikit gula di sarangnya.”
Pak Irham mengerutkan kening. “Kamu tahu sarangnya?”
“Iya, Yah, aku tau,” jawab Yuda.
Seketika Pak Irham pun terdiam, kemudian ia mengelus dagunya dan menatap anaknya.”Dan kamu memberi mereka gula agar mereka tidak datang ke sini lagi?” tanyanya lagi.
“Iya, cuma sedikit kok, Yah. Dan sekarang gula Ayah aman, kan?” ujar Yuda sambil tersenyum.
Pak Irham akhirnya ikut tersenyum, meski malu-malu. Kali ini ia mendapat pelajaran tentang kebaikan dari anaknya sendiri.
Hari-hari berikutnya, dapur Pak Irham tetap bersih dari semut. Tak ada lagi semut-semut yang berbaris menuju gula. Dan di balik pohon jambu, terlihat kawanan semut sibuk menikmati sedikit gula yang diberi Yuda setiap pagi.
Kini, Pak Irham tak lagi kesal. Ia bahkan sesekali melihat ke sarang semut dan berkata, “Selama kalian tidak mengerubungi gula yang aku buat, aku juga nggak akan ganggu. Tapi jangan rakus, ya!”
Yuda yang mendengar pun tertawa. “Ayah ngomong sama semut?”
“Kenapa tidak? Mereka makhluk hidup juga kan,” kata Pak Irham sambil tertawa ringan.
Sesaat kemudian ada tetangga yang datang untuk membeli gula, ia pun memuji kualitas dan kebersihan gula buatan Pak Irham. “Wah, sekarang tidak ada semutnya ya, Pak?” tanya Bu May.
“Iya, Bu, semua berkat anak saya, yang bikin semut-semut itu pergi, Bu,” jawab Pak Irham.
“Lho, kok bisa? Bagaimana caranya?” tanya Bu May penasaran.
Yuda yang berdiri di samping ayahnya pun menjawab, “Hehe, begini, Bu caranya. Semutnya dikasih makan di tempat lain, biar mereka tidak ke sini lagi.”
“Wah, hebat sekali Yuda, cara yang cerdas dan baik hati!” puji Bu May.
Malam harinya saat makan bersama, Pak Irham berkata pelan, “Kamu benar ya, Yuda, kadang kita terlalu cepat menyakiti sesuatu, padahal sebenarnya juga bisa diajak hidup berdampingan.”
Yuda pun tersenyum dan berkata, “Setiap makhluk pasti punya tempatnya, Yah. Kita cari saja cara yang aman tanpa harus mengusir atau menyakiti.”
Pak Irham pun mengangguk. “Ayah bangga sekali padamu.”
“Yuda juga bangga Ayah mau mengerti,” jawab Yuda sambil tertawa kecil. Mereka pun kemudian melanjutkan makan malam. (Tamat)
Pesan Moral:
Masalah apapun yang sedang kita hadapi sebenarnya dapat kita selesaikan dengan cara yang baik tanpa menyakiti. Dengan mengamati, memahami, dan menggunakan akal, kita bisa menemukan jalan keluar yang baik untuk semua pihak. Karena sejatinya hidup itu bukan untuk menyingkirkan yang berbeda, namun menciptakan ruang agar perbedaan itu bisa hidup berdampingan.
Dianita Aruningtias, tinggal di Jember, Jawa Timur. Berusia 23 Tahun, lulusan S1 dengan gelar Sarjana Administrasi Negara (S.AP). Dianita suka menulis dan membaca novel.


