Yaya menuntun sepedanya perlahan mendekati halaman rumah. Setelah menyandarkan sepeda itu di dinding samping, ia berjingkat menuju jendela kamar paling belakang, kamarnya sendiri.
Bruk! Tas sekolahnya ditaruh melewati jendela, mendarat empuk di atas kasur.
Buru-buru ia melepas kedua sepatunya dan … bruk! Sepatu hitam itu jatuh di balik jendela kamarnya. Terakhir, rok seragam merahnya, menyusul ke balik jendela yang sama. Beres sudah!
Lalu, dengan sangat hati-hati bocah kelas tiga SD itu kembali berjingkat menjauh. Kini, dengan memakai celana pendek sebatas lutut. Ia merasa lebih leluasa bergerak. Setelah merasa aman, gadis kecil berwajah manis itu langsung mengambil langkah seribu. Kabur sekencang-kencangnya. Rambutnya yang dikuncir dua tampak berayun-ayun.
“Gimana, Ya?” Neti, sahabatnya satu kelas menyambut di ujung jalan.
“Beres!” Yaya mengacungkan jempol.
Mereka berjalan beriring menyusuri jalan kampung yang sepi. Tujuan mereka tak lain adalah tebing di belakang rumah Neti, tempat di mana sebatang pohon mangga berdiri gagah dengan buahnya yang lebat.
“Kamu bawa kantong plastik, nggak?” tanya Yaya memastikan.
“Bawa, nih!” jawab Neti. Sahabat Yaya yang berkulit hitam manis itu tersenyum, memamerkan gigi-giginya yang tidak rata.
“Nanti kalau kita dapat banyak, hasilnya dibagi dua, ya?” ujar Yaya lagi.
“Iya! Kamu nggak percaya amat sih sama aku?” Neti mendelik.
“Habis, kamu suka curang, sih!” Yaya nyengir.
Tidak lama, mereka pun sampai di tebing yang dituju. Yaya berdecak kagum melihat lebatnya buah mangga yang mereka incar. Dia paling suka mangga.
“Kamu yakin, mangga ini tidak ada pemiliknya?” Yaya tampak ragu.
“Kata emakku sih, begitu. Kan tebing ini nggak ada pemiliknya, berarti pohon ini juga nggak ada pemiliknya.”
Yaya terdiam agak lama. “Tapi … nggak ada penunggunya juga, kan?”
“Hus! Jangan menakut-nakuti, dong! Mau manga nggak, nih?” Neti terlihat kesal. Dia memang terkenal sangat penakut. Yaya tersenyum. Lalu, mereka mulai menelusuri belukar yang tumbuh di sekitar tebing dan mencari buah mangga yang sudah berjatuhan karena matang.
“Biasanya dalam kolam di bawah sana banyak, tuh!” seru Neti sambil menunjuk ke arah bawah tebing.
“Kita cari ke sana aja, yuk! Kan asyik kalau bisa mandi sekalian,” ajak Yaya bersemangat.
“Jangan! Nanti seragam kamu kotor. Bisa ketahuan sama bundamu! Lagian, kenapa cuma rokmu yang diganti? Bukankah yang gampang kotor itu seragam atasannya?” cegah Neti khawatir. Ia memandang seragam atasan Yaya yang berwarna putih.
“Nggak apa-apa. Nanti aku cuci dulu sebelum pulang,” kilah Yaya ngotot.
Akhirnya mereka berjalan tertatih menuruni tebing yang lumayan curam itu. Mereka berpegang pada akar-akar dan rerumputan.
Tiba-tiba pegangan Yaya terlepas hingga tubuhnya langsung meluncur menimpa Neti yang saat itu berada tepat di bawahnya.
Byuuurrr! Tanpa ampun, tubuh kecil mereka langsung tercebur ke kolam.
“Blek! Blep! Tolong pegang … blep … tanganku!” Neti berteriak panik.
Yaya yang cukup bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya langsung memegang tangan Neti yang terulur. Gadis kecil itu nyaris terbahak melihat sahabatnya basah kuyup oleh air kolam yang bercampur lumpur.
Kolam itu tidak dalam, hanya sebatas pinggang mereka. Namun lumpurnya cukup tebal, sulit juga untuk bergerak.
“Ini gara-gara kamu!” omel Neti kesal.
“Aku kan nggak sengaja, kepeleset.” Yaya membela diri sambil menahan geli di perutnya.
Sungguh, Neti terlihat begitu lucu dalam keadaan kuyup seperti itu. Kulitnya terlihat lebih gelap dan rambut panjangnya lengket kehijauan dilumuri lumut kolam.
“Nanti kamu bisa mandi di pancuran sana. Sekarang kita lanjutin dulu nyari mangganya,” ujar Yaya menunjuk sumur pancuran.
Neti masih cemberut, tapi ia tidak membantah. Perlahan ia mulai menggerakkan kakinya untuk mencari buah mangga yang biasanya mengendap di dasar kolam yang penuh lumpur.
“Aku dapat, nih!” seru Yaya girang.
Perlahan bocah berambut kuncir itu membungkuk, lalu mengulurkan tangannya untuk memungut benda bulat licin yang tersenggol oleh kakinya. Sesaat kemudian ia sudah mengacungkan mangga temuannya.
“Wah, besar sekali!” Neti berseru takjub.
la langsung lupa dengan kekesalannya. Dengan penuh semangat, ia kembali mengaduk-aduk dasar kolam dengan kakinya.
“Aha! Ini pasti dia!” serunya sesaat kemudian.
Dengan cepat ia meraih benda yang mengganjal ujung kakinya itu, dan ….
“Hahaha … mumbang!” Yaya berseru geli.
Ternyata bukan mangga yang didapat sahabatnya itu, melainkan buah kelapa yang masih kecil. Di kampung Yaya biasa disebut mumbang. Neti ikut tertawa sambil melempar benda temuannya itu ke luar kolam. Mereka terus asyik Mentari mangga dan sesekali saling siram, hingga keduanya sama-sama basah kuyup.
@@@
“Yaya pasti makan Mangga lagi, ya?” tanya Bunda yang melotot melihat Yaya meringkuk di atas kasur. “Sekarang baru tahu rasanya sakit perut. Sudah dibilang jangan makan mangga banyak-banyak, eh, malah bandel!”
“Maaf, Bunda. Yaya makan mangga nggak banyak, kok. Cuma … cuma … lima,” jawab Yaya sambil meringis, menahan rasa mulas di perutnya.
“Lima? Itu nggak banyak?” seru Bunda. Bunda geleng-geleng kepala, bingung melihat putri bungsunya.
Yaya makin meringkuk, menghindari tatapan Bunda yang tajam.
“Bunda bingung menasihati Yaya. Berkali-kali sudah Bunda bilang, kalau mau pergi main, izin dulu sama Bunda. Ganti dulu seragamnya, jangan dipakai main! Kan susah mencucinya. Ini malah pergi begitu saja. Tas, rok, dan sepatu dilempar lewat jendela. Sepeda ditaruh diam-diam, terus kabur entah ke mana! Shalat zuhur pun enggak!” Bunda kembali mengomel.
“Iya… Yaya salah … tapi ….”
“Tunggu dulu! Bunda belum selesai. Yaya juga tidak mengerjakan kewajiban baru Yaya, yaitu mencuci piring!”
“Iya, tapi ….”
“Tapi apa lagi?”
“Tapi Bunda marahnya nanti aja, ya. Perut Yaya sakit banget, nih.”
“Astaghfirullah, Yaya!” seru bunda yang makin melotot gemas. Namun, akhirnya Bunda keluar juga dari kamar Yaya, masih sambil mengomel.
@@@
Siang itu Yaya kembali terlihat menuntun sepedanya begitu sudah dekat ke rumah. Hatinya tiba-tiba diserang keraguan. Hari ini ia sudah berjanji lagi dengan Neti untuk mencari mangga di tempat kemarin.
Kalau boleh jujur, Yaya sangat suka dengan mangga itu. Rasanya lebih enak dan manis, makanya tak terasa ia sudah menghabiskan lima buah mangga yang besar-besar. Hmm, membayangkan semua itu, hati Yaya jadi tergoda lagi.
Semakin mendekati rumah, langkahnya semakin perlahan. Bahkan sepeda pun ia sandarkan di belakang rumah, tidak di samping seperti biasanya. Sepatu dan tas pun tidak lagi dilempar lewat jendela seperti kemarin sebab kedua benda itu telah tergantung manis di bagian depan sepedanya.
Roknya juga sudah disimpan rapi di dalam tas. Satu-satunya yang harus ia lakukan sekarang adalah … satu … dua … tiga … kabuuurrr!
“Yayaaa …! Balik!
Langkah gadis cilik itu tertahan mendadak. Begitu membalikkan badan, Bunda sudah terlihat berdiri di sudut halaman belakang sambil berkacak pinggang. Rasanya Yaya tidak perlu bertanya lagi, sebab mata Bunda sudah cukup memberi perintah agar ia segera kembali.
Ya, masuk ke dalam rumah, mengganti seragam, makan siang, shalat zuhur, dan tidur siang. Lalu sorenya ia harus mengerjakan PR, juga kewajiban barunya, yaitu mencuci tumpukan piring kotor di dapur! (NSR)


