Frame 117

Semut Hitam yang Keras Kepala

By Cici Walif

Di hutan Ravana Nirmala hujan mulai turun rintik-rintik. Pohon gambir yang merupakan tumbuhan semak sangat gembira, dia sudah berminggu-minggu tak minum, panas ini membuat daunnya menguning.

“Uhhhh…. hujanlah! Turunlah dengan lebat dan deras!” ucap pohon gambir seraya menengadah ke langit.

“Haii pohon gambir, doamu membuatku tak bahagia!” ucap Sapra, semut hitam kecil yang mendengar ucapan pohon gambir

“Oh,  ternyata kau Sapra,” jawab pohon gambir.

Sapra merupakan seekor semut pekerja berwarna hitam. Dia sangat rajin, tak mengenal waktu untuk mengumpulkan makanan.

“Mengapa kau bicara seperti itu? Ucapanmu sangat mengangguku,” ucap Sapra  dengan lantang.

“Lihatlah daunku, Sapra, mereka menguning. Aku sangat lelah berminggu-minggu tak minum. Wajahku juga kusam karena debu,” keluh pohon gambir.

“Halah, tak hujan bertahun-tahun pun kau tak akan mati. Jika hujan lebat aku tak bisa mencari dan membawakan makanan untuk ratuku,” ucap Sapra kesal.

“Semua hewan di hutan ini pun bahkan merindukan hujan. Lihatlah katak setiap hari bernyanyi untuk memanggil hujan,” jawab pohon gambir.

“Oooh, jadi ini kerjaan katak, aku akan buat perhitungan dengannya!” Sapra pun berlalu.

“Tunggu, Sapra! Katak itu bisa melahapmu!” pohon gambir mengingatkan.

“Apa pedulimu? Jangan urus urusanku!” sahut Sapra sombong.

“Jangan menyesal karena aku sudah memperingatkanmu!” ujar pohon gambir lagi.

“Aku tak butuh nasehat darimu.” Semut hitam kecil itu pun menjauh dari pohon gambir.

“Dasar keras kepala!” jawab gambir.

Rintik hujan turun semakin besar, rumput-rumput bernyanyi riang. Suara itu terdengar jelek bagi si semut hitam dan hal itu memekakkan telinga Sapra yang sedang lewat.

“Hei, berhentilah bernyanyi! Suara kalian sungguh merusak gendang telingaku!” seru Sapra pada rumput. Seketika sekumpulan rumput itu berhenti bernyanyi.

“Hai, Sapra, kamu kenapa? Semuanya bahagia menyambut hujan. Tidakkah kau mau bersembunyi dan berteduh dulu? Rintik hujan ini bisa membuat tubuh kecilmu sakit,” saran rumput.

“Aku bukan hewan yang lemah! Sudah, diamlah! Suara kalian menggangguku!” jawab Sapra dengan ketus.

Rumput yang baik tak mengambil hati ucapan Sapra, dia masih saja ramah. “Kamu mau ke mana hujan-hujan begini, Sapra? Berteduhlah dulu di bawah daunku!”

 “Aku tidak butuh bantuanmu. Aku mau buat perhitungan dengan katak,” ucapnya dengan nada sombong.

“Kami semua bahkan berterima kasih pada Frogi si katak yang menyanyikan syair hujan, sehingga hujan bisa turun. Ini sungguh sejuk sekali, lihatlah tubuhku retak-retak karena dipapar terus oleh sinar matahari,” ujar si rumput lagi.

Namun Sapra tak mau lagi mendengarkan kata-kata si rumput. Ia melanjutkan perjalanannya.

“Berhati hatilah kalau kau memang tak mau mendengarkanku!” teriak rumput pada Sapra.

Dengan penuh perjuangan Sapra menempuh rintik hujan. Tubuhnya terpental berkali-kali saat terkena rintik hujan, tapi karena keras hatinya Sapra terus melangkah. Tak peduli akan bahaya yang akan datang menghampirinya.

Air kini mengalir dari sela-sela tanah. Bagi  hewan besar air ini hanyalah rembesan kecil saja karena hujan, namun bagi semut seperti Sapra air ini seperti banjir bandang. Sapra pun terbawa arus air berkali-kali. Ia berteriak minta tolong, namun tak ada satu pun penghuni hutan yang mendengarnya.

“Tolooong…!” Sapra terus terseret arus air, napasnya sudah mulai kepayahan.

Di ujung sana Frogi si katak mendengarkan ada teriakan minta tolong dan ia lekas melompat menyelamatkan Sapra dari arus deras itu. Sapra pun akhirnya selamat. Dia mengambil napas dan mencoba menormalkan kembali detak jantungnya.

“Kamu tak apa-apa, semut kecil?” sapa Frogi dengan khawatir.

“Semua ini salahmu, katak tak berguna!” umpat Sapra keras.

“Hei, apa salahku? Seharusnya kau berterima kasih padaku,” jawab Frogi kaget.

“Semua petaka yang terjadi padaku berawal darimu, katak tak berguna!” teriaknya lagi.

“Aku tak mengerti maksudmu. Adakah hal yang membuatmu marah padaku? Tapi bukankah aku belum pernah bertemu denganmu sebelumnya?” tanya Frogi.

Kni awan hitam berangsur-angsur mundur dan langit kembali cerah. Namun hati Sapra masih saja ditutupi gelap, dia masih ingin membuat perhitungan dengan katak.

“Karena suara jelekmu itu semua makanan yang susah payah aku cari dan aku kumpulkan hanyut!” ucap Sapra berapi-api.

“Semua hewan yang ada di hutan Ravana ini sangat berterima kasih padaku wahai semut kecil.”

“Itu tidak termasuk aku! Jangan pernah kau keluarkan lagi suara jelekmu itu!” ungkap Sapra kesal.

“Maaf kalau kau tak suka, tapi itu sudah tugasku di hutan ini untuk memanggil hujan.” jawab Frogi.

Sapra tak senang dengan jawaban Frogi. Dia sangat marah dan langsung mendekati Frogi lalu menggigit kakinya.

Frogi mengaduh kesakitan. Dia berusaha menendang-nendangkan kakinya agar Sapra bisa lepas dari tubuhnya, namun Sapra malah semakin memperkuat gigitannya. Hingga tanpa pikir panjang Frogi menjulurkan lidahnya dan…

Hap! Sapra pun menjadi santapan Frogi.

“Lumayan, anggap saja camilan untuk mengganjal perutku yang lapar sehabis hujan,” ucap Frogi. “Lagi pula siapa suruh menggigit kakiku.”

Frogi pun lalu meloncat menjauhi genangan air. Itulah akhir hidup dari Sapra si semut hitam yang keras kepala. (Tamat)

-- Akhir --

Bagikan Cerita

Baca tulisan menarik lainnya

Punya Naskah Cerita Sendiri?

Kirim Naskahmu Sekarang!

Naskah-Homepage