Frame 117

Ruru Penjaga Hutan Kalimantan

By Rima Rafiqoh

Pagi datang dengan ceria. Sinar matahari menyusup di antara dedaunan hijau yang lebat. Burung-burung bernyanyi dari atas pohon tinggi. Angin berbisik lembut. Hutan tampak segar, sejuk, dan damai. Di salah satu pohon besar yang menjulang tinggi, seekor orang utan bernama Ruru membuka matanya.

“Hmmm… segarnya pagi ini,” gumam Ruru sambil menggeliat dan menggantung manja dari dahan ke dahan.

Ruru bukan orang utan biasa. Ia dijuluki Penjaga Hutan Kalimantan oleh hewan-hewan lain. Ia selalu menjaga kebersihan hutan, menanam biji-biji buah yang ia makan, dan membantu hewan lain yang kesulitan. Ruru sangat menyayangi hutan. Di sinilah rumahnya sejak kecil. Hutan memberinya makanan, air bersih, dan tempat bermain yang luas. Namun belakangan ini, ada yang berbeda.

Pada suatu pagi, Ruru melihat asap mengepul dari kejauhan.

“Kenapa ada asap di sana?” gumamnya cemas.

Ia meluncur cepat dari pohon ke pohon, mendekati sumber asap. Betapa terkejutnya Ruru! Sebagian hutan tempat ia bermain dulu kini berubah menjadi tanah gersang. Pohon-pohon besar tumbang. Banyak rumput mengering. Tidak ada suara burung. Tidak ada suara jangkrik.

“Ini… menyedihkan,” bisik Ruru. Matanya berkaca-kaca.

Hari demi hari, semakin banyak pohon yang ditebang. Ruru melihat truk besar datang, membawa kayu keluar dari hutan. Banyak hewan kehilangan rumah. Ada yang mengungsi. Ada yang kelaparan. Ruru merasa sangat sedih. Tapi ia tidak mau diam.

“Aku harus berbuat sesuatu!” seru Ruru.

Ia mengumpulkan semua hewan yang masih tinggal di hutan.

“Teman-teman, kita harus menjaga hutan ini. Kita bisa menanam kembali pohon-pohon muda. Kita bisa membuat tempat tinggal baru untuk hewan-hewan kecil,” kata Ruru semangat.

Burung-burung, trenggiling, landak, dan bahkan lebah ikut berkumpul.

“Kami ikut, Ruru!” jawab mereka.

Setiap hari, Ruru dan teman-temannya mencari biji buah dan menanamnya. Mereka membersihkan sungai dari sampah yang hanyut. Mereka membuat papan kecil dari ranting: Hutan adalah rumah kami. Tolong jangan rusak.

Suatu hari, sekelompok manusia datang. Mereka terkejut melihat papan peringatan itu. Salah satu dari mereka adalah seorang anak kecil bernama Nina, yang ikut ayahnya meneliti hutan.

“Ibu, ayah, lihat! Ada papan buatan hewan! Mereka seperti minta tolong!” seru Nina.

Ayahnya tersentuh. Ia adalah seorang peneliti lingkungan. Sejak hari itu, ia mulai bekerja sama dengan warga sekitar untuk menjaga bagian hutan yang masih tersisa. Ia menulis di media. Ia mengajak orang-orang untuk menanam pohon. Bahkan, hutan tempat Ruru tinggal dijadikan hutan lindung.

Beberapa tahun kemudian, hutan mulai hijau kembali. Burung-burung kembali bernyanyi. Sungai mengalir jernih. Pohon-pohon muda tumbuh tinggi. Ruru tersenyum lebar.

“Ini semua berkat kerja sama dan cinta kita pada hutan,” kata Ruru sambil memeluk batang pohon.

Kini, Ruru kembali mengayun dengan riang. Ia tetap menjadi Penjaga Hutan Kalimantan. Tapi kali ini, ia tidak sendirian. Ia punya banyak teman: hewan, manusia, dan anak-anak yang mencintai alam. (Tamat)

Rima Rafiqoh, dilahirkan di Nanga Mau, Kabupaten Sintang pada 13 Juni 1993. Pada perjalanannya, ia juga bergabung di Komunitas Menulis Forum Indonesia Menulis (FIM) Kalimantan Barat dan menjadi salah satu peserta Bimtek Penulisan dan Penerjemah Cerita Anak yang diadakan oleh Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2024-2025. Penulis terpilih dalam penulisan cerita anak Kepulauan Riau 2025. Ia telah melahirkan karya pertamanya di tahun 2015 yang berjudul Jejak Pelangi di Khatulistiwa, dan kumpulan puisi berjudul Dandelion. Penulis berharap semoga karya-karyanya bisa memberikan manfaat kepada pada pembacanya.

 

 

-- Akhir --

Bagikan Cerita

Baca tulisan menarik lainnya

Punya Naskah Cerita Sendiri?

Kirim Naskahmu Sekarang!

Naskah-Homepage