Frame 117
Aisha berumur delapan tahun, seorang anak piatu. Ibunya meninggal karena kanker rahim. Aisha tinggal dengan neneknya. Ayahnya seorang pengusaha yang sibuk. Neneknya juga banyak urusan di luar rumah. Aisha sering merasa kesepian dan sedih. Om Aldi mengajarinya berselancar di dunia maya alias internet. Aisha diajarinya membuat surat elektronik atau email. Dan membuat rumah maya di Facebook. Saking rindunya Aisha mengirimkan email itu kepada ibunya. Dialamatkan ke website milik seorang guru TK. Annisa merasa terharu dan simpati terhadap nasib Aisha. Terjadilah korespondensi melalui dunia maya antara Aisha dengan Annisa. Mereka pun sering chatting melalui Facebook. Yakni jejaring yang sedang digemari saat ini oleh para pengguna internet seluruh dunia. Nah, bagaimana kelanjutan persahabatan mereka? Simak saja novel yang menawan ini, ya!

Bel baru saja  berdentang di Sekolah Dasar Global. Saatnya anak-anak pulang. Begitu guru membalas ucapan salam, maka anak-anak pun langsung  berhamburan keluar kelas. Mereka segera mencari ibu, bapak atau para penjemputnya masing-masing.

Demikian pula di kelas tiga, kelasnya Aisha.

“Horeee!” seru anak-anak.

Mereka berebut keluar kelas. Sehingga Bu Arlin harus mengingatkan anak-anak.

“Anak-anak yang baik, tenang, ayo! Tenang!”

“Iya, Bu, kita tenang-tenang saja kok,” sahut Bimo sambil tertawa.

Bimo sengaja berjalan dilambat-lambatkan, kemudian digeal-geol alias digoyang.

Anak-anak tertawa geli melihat kelakuannya.

“Bimooo! Dasar, bodooor!” seru anak-anak, saling bersahutan, heboh.

“Lihat, sudah pelan kan, Bu?” Bimo mengerdipkan sebelah matanya.

Bu Arlin menggeleng-gelengkan kepala. Tapi tak urung bibirnya tersenyum.

Dari belakang Dude tiba-tiba mendorong Bimo.

“Woooi! Cepat, Bimo! Jalannya jangan megol-megol begitu.”

“Macam bebek saja!” ejek Annie.

“Iya nih, menghalangi jalan. Tahu!” sela Lusy, gemas.

Bimo sambil bergelayutan di bahu-bahu Dude, bernyanyi-nyanyi tak jelas.

“Megal-megol, megal-megoool…. Kayak bebek, wekkk, wekkkk!”

Di belakang anak-anak itu, tampak Aisha berjalan pelan. Membawa tas gendong ia berjalan menunduk. Rambutnya yang ikal panjang, dikepang dua. Diberi pita merah muda warna kesukaannya. Postur badannya lebih tinggi dari anak-anak sebayanya. Orang menyebutnya bongsor.

Ia sengaja menghindari anak-anak. Dari kejauhan ia memerhatikan tingkah laku teman-temannya.

Lihatlah!

Di parkiran, seorang ibu muda turun dari kendaraannya.

“Lila sayaaang!” serunya memanggil-manggil seorang anak perempuan.

Lila tertawa riang, berlari menghampiri ibunya. Sebentar saja ia telah menggelayuti

lengan ibu muda itu.

“Bu, nanti kita ke Mal dulu, ya?” rengek Lila, terdengar manja sekali.

“Iya, iya…. Memangnya mau beli apa sih, Sayang?”

“Iiih, Ibu lupa ya? Kemarin Ibu sudah janji. Mau beli seri Barbie terbaru buat Lila.”

“Oh, iya, ya! Maaf, Ibu lupa.”

Ibunya yang cantik itu seketika membungkuk. Kemudian dikecupnya pipi-pipi Lila dengan penuh sayang.

Di pojokan lain, tampak Nina berseru riang begitu melihat sosok maminya.

“Mamiii! Mamiii!”

“Pssst, ada apa teriak-teriak begitu, Ayang?”

“Tadi nilai matematika Nina sepuluh, Mi.”

“Wooow! Hebatlah, ini namanya anak Mami!”

“Siapa dulu dong Mami Nina?”

“Hehe…. Sini, Ayang, Mami cium sayang dulu,” pinta Mami Nina.

Ia membungkuk, kemudian mencium pipi-pipi Nina. Pasti dengan rasa sayang dan bangga sekali.

Anak-anak sudah bersama para penjemput. Kebanyakan dijemput oleh ibunya masing-masing. Hanya beberapa yang dijemput kakak atau suster.

“Non Ais!” seru seseorang.

Pak Arman, sopir keluarga Aisha, berjalan cepat menghampirinya.

“Non Ais, mengapa di sini? Saya mencari Non Ais ke mana-mana,” ujarnya terengah-engah. “Biasanya kan kita ketemu di depan kantor guru? Bagaimana kalau ada orang jahat, terus menculik Non Ais?”

“Pssst, Pak Arman jangan ngomong macam-macam,” desis Aisha, wajahnya jelas muram dan sedih.

Pak Arman tertegun memandangi anak perempuan cantik itu.

“Non Ais, memang sedang apa di parkiran ini?”

“Tuuuh!” Aisha menudingkan telunjuknya ke arah teman-temannya.

Pak Arman melayangkan pandangannya ke sekitar mereka. Anak-anak sudah naik ke kendaraan pribadi. Sebagian ada juga yang ikut mobil jemputan sekolah.

Ini sekolah berstandar internasional. Anak-anak yang bersekolah di sini rata-rata orang berada.

“Oh, iya, saya mengerti sekarang,” gumam Pak Arman.

“Mengerti apa?” Aisha melirik lelaki separo baya itu, ingin tahu.

“Kita ngobrolnya sambil jalan, ayo!” ajak Pak Arman.

Pak Arman selama ini selalu baik hati. Ia sering menjadi curahan keluh-kesahnya. Aisha tak urung menurutinya. Pak Arman menuntun Aisha. Mereka  menyeberang jalan yang membentang di depan sekolah.

Pak Arman lebih suka memarkir mobilnya di samping sebuah toko buku. Pemilik toko buku adalah keponakannya. Pak Arman bisa saling bertukar kabar dengan Dikdik, keponakannya.

“Ayo, bilang, Pa Arman mengerti apa?” Aisha menagih janjinya, begitu mereka sudah menaiki mobil.

“Iya, pokoknya pahamlah. Non Ais merasa iri dengan teman-teman. Karena Non Ais tidak dijemput lagi oleh Mama. Iya kan? Mengaku sajalah….”

Suara Pak Arman terdengar riang. Tidak terkesan menyudutkan siapapun.

“Huuuh! Sok tahu, ah!” tukas Aisha, langsung cemberut.

Pak Arman tenang saja melajukan kendaraannya. Ia pikir, sudah saatnya menyadarkan anak perempuan ini untuk menerima kenyataan.

“Mama Non Ais sudah tenang di sisi Tuhan.”

Air bening mulai menggenang di sudut-sudut mata Aisha.

“Percayalah, orang sebaik ibumu tentu akan mendapat tempat di sisi Tuhan.”

Aisha terdiam di samping Pak Arman.

“Non Ais harus merelakan kepergiannya. Agar Mama Ais juga tenang di tempatnya sana….”

Air mata mulai menetes di pipi-pipi Aisha.

“Pak Arman,” tukas Aisha tersendat-sendat. “Mengapa Mama pergi?”

Sesungguhnya Pak Arman, kakek seorang cucu itu, tergetar hatinya. Ia ikut merasakan kepedihan hati anak majikannya. Aisha masih sangat membutuhkan keberadaan ibunya.

Namun, ia tidak boleh membiarkan Aisha terus-menerus bersedih.

“Non Ais kan tahu, Mama Non itu sakit parah.”

“Iya, Ais tahu. Ais kasihan Mama kesakitan. Kalau habis diapakan namanya itu, Pak Arman?”

“Dikemoterapi, ya?”

“Nah! Papa bilang, dibom penyakit kankernya ya, Pak Arman?”

“Betul. Mama Ais terkena kanker di rahimnya.”

Aisha seketika terdiam. Ia terkenang kembali bagaimana penderitaan ibunya. Setiap usai dikemoterapi, Mama muntah-muntah hebat. Tak mau makan, rambutnya rontok semua. Kulit Mama berubah menjadi kering dan agak kehitaman.

“Duh, Mama, Mama…. Kasihan sekali!” isaknya ditahan dalam dada.

Setahun lebih mamanya harus bolak-balik berobat. Sehingga mereka memutuskan pindah dari Medan. Agar mendapatkan perawatan terbaik dari rumah sakit termahal di Jakarta. Namun, semua ikhtiar itu tidak ada hasilnya. Mama tetap meninggal juga.

“Apa betul sekarang Mama sudah tenang di sisi Tuhan, Pak Arman?”

“Insya Allah, Mama Non sudah tenang di surga-Nya.”

Aisha seketika tersenyum. “Kalau begitu, Mama lebih baik pergi, ya Pak Arman?”

Pak Arman mengangguk.  “Apalagi jika kita merelakan kepergiannya.”

“Mama akan lebih bahagia di sana, ya Pak Arman?”

“Insya Allah.”

Aisha manggut-manggut. Terdengar ia menarik napas panjang. Pak Arman mengerling, memerhatikannya. Kini, ada senyum manis di bibir Aisha.

Semoga sejak kini, Aisha tidak akan bertanya-tanya terus: mengapa Mama pergi? (Bersambung)

Suatu malam di rumah keluarga Aisha.

Oma sudah menyiapkan makan malam. Macam-macam makanan terhidang di meja. Ada dendeng gepuk, sop iga, kentang balado, ikan emas panggang, udang goreng besar-besar. Ditambah aneka macam buah. Dan jus minuman yang bisa dipilih.

Ini sudah lebih dari ukuran empat sehat lima sempurna. Seharusnya semuanya ini membuat penghunii rumah kerasan. Merasa senang dan berbahagia.

Ditambah rumah mentereng, perabotannya yang serba moderen. Bahkan ada kolam renang. Ternyata semua kemewahan ini bukan jaminan kebahagiaan.

Setidaknya sejak Mama tiada. Kesedihan serasa merambah ke mana-mana. Ke setiap dada para penghuninya. Oma, Papa, Aisha dan para pembantu.

Oma dan Aisha sudah berada di ruang makan. Berdua saja, sesungguhnya sedang menunggu Papa.

Tiba-tiba Mbak Nanik tergopoh menyodorkan telepon kepada Oma.

“Dari Bapak,” bisik Mbak Nanik nyaris tak terdengar.

“Ya, terima kasih,” Oma segera menerimanya.

Mbak Nanik berlalu.

Sejurus kemudian Oma berkata: “Kita tidak perlu tunggu Papa Ais lagi, ya.”

“Apa Oma?” Aisha tersentak dari keasyikannya.

Selama neneknya menerima telepon, ia memandangi lukisan di pinggan sop. Lukisan perempuan bersayap dengan bayinya yang juga bersayap. Mereka berdua sedang melayang-layang, terbang.

Sebuah lukisan yang unik dan aneh!

Aisha sungguh menyukainya. Ia membayangkan, ia dan ibunya yang bersayap. Ia dan Mama bisa terbang ke mana-mana.

Berdua selalu, ah, alangkah bahagianya!

“Ya, barusan ada telepon. Papa Ais akan pulang terlambat. Nah, kita makan sekarang saja.”

“Kan Papa sudah janji. Papa mau makan bareng kita malam ini,” protes Aisha, wajahnya jelas kecewa sekali.

“Iya, Sayang, tapi mendadak ada janji dengan teman bisnisnya….”

Aisha terdiam. Mulutnya terasa hambar. Selera makannya mendadak hilang. Papa sering sekali mengingkari janjinya!

Begitu super sibuknya Papa, huh!

Sampai lupa, di rumah ada anak dan ibunya yang menunggu.

Hanya untuk makan bersama sekalipun, Papa tidak bisa?

“Mari, Oma ambilkan sop kesukaanmu.”

Oma hendak menyendokkan nasi ke piring Aisha.

“Tidak perlu, Oma. Biar saja, nanti Ais ambil sendiri,” tolak Aisha.

Kepingin rasanya Aisha pergi dari situ. Namun, ia tidak sampai hati. Kasihan juga Oma. Ia sudah susah-payah menyediakan semuanya ini. Meskipun yang memasaknya bukan Oma. Melainkan Bibi Ijah dibantu keponakannya, Mbak Nanik. Tetap saja Oma ikut wara-wiri menyiapkan.

”Mengapa belum dimakan?” Oma menatap cucunya.

Aisha sudah mengambil makanan. Sedikit nasi dan sekerat dendeng gepuk. Tapi ia belum bergerak untuk mulai menyantapnya. Ia hanya menatap isi piringnya sekilas.

“Tunggu apa? Kita mulai berdoa dan makan, ya?” bujuk Oma.

“Mmm…. Oma, makanan di sini kebanyakan,” gumam Aisha pelan.

“Biasanya juga kan begini, Sayang. Kita memasak macam-macam, biar banyak pilihan.”

“Iya, Oma, ini makanannya berlebihan. Kita tidak bisa memakan semuanya.”

Oma tersenyum. “Tidak apa-apa. Kan masih ada orang-orang selain kita berdua. Makanannya tidak akan sampai terbuang.”

“Oma,” tukas Aisha mulai jemu. “Dengarkan Ais dulu….”

Aduh, Aisha ingin berteriak saja!

Mengapa Oma tidak paham?

Aisha kepingin suasananya tidak sepi begini!

“Iya, Sayang, lanjutkan bicaranya sambil makan,” tak jemu Oma membujuknya.

“Ais tahu, ada Bibi Ijah, Mbak Nanik dan Pak Arman….”

“Ditambah Mang Kebon loh.”

“Eeeh, iya, tapi Mang Kebon kan lagi pulang kampung.”

“Kita ngobrolnya sambil makan. Iya kan, Sayang?” pinta Oma.

“Sebentar,” sanggah Aisha. “Kita ajak mereka makan bareng, ya Oma, kumohooon….”

Oma perempuan paro baya berumur 58 tahun. Ia tampak cantik, enerjik dan penuh semangat. Maklum, Oma istri seorang prajurit. Opa gugur di Irian 15 tahun yang silam. Saat menunaikan tugas negara, membela tanah air. Dari serangan gerakan pemberontakan di pedalaman Irian.

“Baiklah,” sahut Oma menyerah.

Sebelumnya Oma sering menolaknya. Oma bilang, biar saja mereka makan di tempat masing-masing. Kecuali jika mereka sedang mengadakan selamatan.

Belakangan Aisha tahu. Oma masih terjebak dalam kesedihannya. Karena ditinggal putri kesayangan untuk selama-lamanya.

“Benar nih, Oma? Kita ajak semuanya, ya?”

“Iya, panggil saja semuanya ke sini.” Oma tersenyum tulus.

“Yeesss!” seru Aisa seraya meloncat dari kursi. Sehingga mengagetkan Oma.

Kemudian anak itu bergegas menuju bagian belakang rumah. Ia berseru memanggil-manggil, girang sekali.

“Mbak Nanik! Bi Ijaaah! Mbaaak! Bibiii!”

Para pembantu ditempatkan di rumah-rumah kecil, tepat di belakang rumah utama. Aisha berkeliling, gerakannya bagaikan menari-nari. Ia melintasi kolam renang.

Ia kemudian membuka pintu belakang. Itulah yang membatasi bangunan utama dengan rumah para pembantu.

Suaranya yang lantang dan jernih, menggema ke sekitarnya.

“Pak Arman, Bi Ijah, Mbak Nanik…. Kita makan bareng, ayooo!”

Tak berapa lama kemudian, ruang makan yang luas itu telah semarak. Ada Bibi Ijah, Mbak Nanik dan Pak Arman. Ia mengajak serta anak menantu, dan seorang cucunya. Mereka sedang mengunjungi Pak Arman yang telah lama ditinggal istrinya.

“Maaf, Oma, apa betul kami diundang makan malam ini?” tanya Bibi Ijah, mewakili teman-temannya.

“Iya, tapi bukan Oma yang mengundang,” elak Oma, mengerling ke arah Aisha.

Aisha tertawa kecil. “Ais yang minta kita makan bersama, Bi Ijah.”

“Sebentar, boleh mengajak keluarga saya, Non Ais?” tukas Pak Arman.

“Tentu saja, boleeeh!” tegas Aisha. “Iya kan, Oma?”

Oma mengangguk. Aisha senang melihat Pak Arman bisa berkumpul dengan keluarganya. Anaknya, Bang Mus, kerja di perkebunan milik Papa.

Waktu Mama masih ada, Aisha sering diajak menginap di rumah peristirahatan. Lokasinya di Puncak, rumah itu dikelilingi perkebunan teh. Pemandangannya indah sekali. Namun, sejak Mama tiada, mereka belum pernah ke sana lagi.

Oma memandangi Aisha dengan perasaan terharu sekali.

Wajah Aisha berseri-seri. Sepasang matanya yang indah tampak berbinar-binar.

“Nina, sini makannya dekat Kakak, ya,” pinta Aisha. “Iiih, kamu lucunya!” Dijawilnya pipi cucu Pak Arman itu.

Nina tertawa senang. Aisha membimbing anak perempuan berumur dua tahun itu. Agar ia duduk di kursi sebelahnya. Tubuh Nina gemuk. Pipi-pipinya tembam. Menggemaskan sekali.

“Pak Arman, silakan memimpin doa, ya,” pinta Oma ramah.

Pak Arman mengiyakan. Ia meminta semua yang hadir berdoa sebelum makan.

“Mamaaam!” seru Nina dengan lucu, begitu doa selesai.

“Iya, iya…, mari kita mamam, eh makan!” sambut Aisha, tertawa riang.

Sejak Mama tiada, inilah makan malam yang ceria di rumah Aisha. Semua wajah tampak cerah. Mereka menikmati hidangan sambil berbincang akrab.

Papa pulang menjelang tengah malam. Suasana rumahnya telah hening, senyap. Ia menengok Aisha di kamarnya. Dibetulkannya letak selimut Aisha. Lalu, perlahan diciumnya kening Aisha. Tentu saja dengan sepenuh rasa sayang.

“Maafkan Papa, ya Nak,” bisiknya mendesir di telinga Aisha.

Kemudian lelaki itu berlalu, menutup pintu kamar hati-hati. Ia tidak tahu. Aisha sesungguhnya belum tidur.

“Papa pasti sudah kerja keras,” gumamnya sendiri. “Ais jangan manja, jangan merengek. Ais tidak boleh mementingkan diri sendiri. Iya, kasihan sekali Papa….”

Ini libur panjang nasional.

Mulai Selasa sampai Senin pekan yang akan datang. Seharusnya Papa, Oma mengajak Aisha berlibur. Pergi ke perkebunan, pantai atau ke luar negeri.

Waktu Mama masih ada, mereka sering melakukannya.

Tapi sekarang semua kesenangan itu telah hilang!

Papa dan Oma tidak pernah bicara tentang liburan lagi.

Aisha sungguh tidak mengerti.

Mengapa semua orang seperti berlari, sendiri-sendiri?

Lihatlah, Papa yang selalu tampak super sibuk. Pergi pagi sekali dan pulang sudah larut malam. Mereka jarang bertemu, apalagi bercengkerama.

Lihatlah, Oma juga ikut-ikutan banyak urusan. Setiap hari bepergian. Kalau ditanya, jawabannya macam-macam.

“Mau ke pengajian RT.”

“Pergi ke pengajian Kelurahan.”

“Kalau sekarang, mau ke arisan keluarga.”

“Kali ini ke arisan pensiunan.”

“Ke pertemuan alumni sekolah Oma dulu.”

“Konsul ke dokter jantung.”

Waduh, begitu banyak urusan Oma, ya?

Nah, liburan panjang begini saja, sejak subuh Oma sudah hilang.

Iya, hilang dari peredaran di rumah ini!

“Aku harus menyelidikinya, sekali ini,” gumam Aisha memutuskan.

Ia sudah berkeliling rumah, mencari neneknya. Tetapi, bayangan Oma tidak juga ditemukan. Maka, ia pun menemui Bibi Ijah di dapur.

“Apa Oma tidak bilang mau pergi ke mana, Bi Ijah?” desak Aisha penasaran.

Bibi Ijah yang sedang sibuk membuat kue, menyahut ragu. “Tidak, Non Ais.”

“Sepertinya pergi keliling kampung di belakang rumah,” komentar Mbak Nanik yang masih sibuk wara-wiri, membersihkan rumah.

Komentarnya ini membuat Bibi Ijah tersentak. Tapi ia tak bisa menghentikannya. Mbak Nanik agak jauh untuk dijangkau. Atau sekadar diberi isyarat tangan.

“Keliling…, bagaimana Mbak?” Aisha tak paham.

Mbak Nanik menghentikan kegiatannya. Lalu menghampiri Aisha.

“Oma sekarang sering bagi-bagi buku, mainan, makanan…, macam-macamlah!”

“Iya, Ais tahu. Oma memang suka bagi rezeki. Sekarang bagi-baginya kepada siapa?”

Mbak Nanik mengerling ke arah Bibi Ijah. Seakan-akan ia minta pendapatnya.

Bibi Ijah tampak keberatan. “Tapi, Nik….”

“Biar sajalah Non Ais mengetahuinya, ya Bi,” Mbak Nanik membujuk.

Melihat kelakuan kedua perempuan itu, Aisha semakin penasaran.

“Ada apa ini sebenarnya?” burunya, tak sabar lagi.

“Kami boleh pergi dulu sebentar, ya Bi?” pinta Mbak Nanik.

“Ya, tapi jangan sampai ketahuan Bapak!”

Mbak Nanik mengiyakan. “Tidaklah. Bapak kan lagi ke Medan.”

“Waduuuh…. Kalian ini ada apa? Jadi misterius begini?”

Mbak Nanik dan Bibi Ijah saling pandang sekejap. Tapi sekejap kemudian, Mbak Nanik menghela tangan Aisha.

“Ayo, katanya tadi, penasaran?”

“Tentang Oma? Ya, tentu!” sahut Aisha girang.

“Kalau begitu, mari ikut Mbak!”

Mbak Nanik kemudian mengajaknya keluar melalui pintu belakang. Ini bukan kebiasaannya. Setahu Aisha, mereka selalu keluar melalui pintu depan.

“Ini jalan pintas, Non Ais. Kalau lewat depan jadi jauh jalannya,” jelas Mbak Nanik. “Lagian, nanti ketahuan Mang Kebon dan Pak Arman….”

Kedua lelaki itu memang sedang sibuk membersihkan pekarangan depan.

Aisha terdiam sambil membawa rasa ingin tahu dan penasaran. Ini teka-teki, ini misteri yang harus dipecahkan. Rasanya aneh saja.

“Bisa-bisanya Oma berteka-teki begini, ya?”

“Bukan Oma namanya, kalau tidak suka misterius.” Mbak Nanik tertawa kecil.

Mereka menyusuri gang demi gang kecil. Jalan sesempit itu tak bisa dimasuki oleh kendaraan berat. Hanya bisa dilintasi sepeda, motor atau gerobak pedagang.

Keadaan perumahan di kampung ini kumuh sekali. Rumah-rumah kecil berdempetan. Tak ada pekarangannya, apalagi taman atau tumbuhan hijau. Bau busuk menyengat hidung.

“Uh, bau apa ini, Mbak?” Aisha menutup hidungnya.

“Air comberan,” sahut Mbak Nanik, menuding got di kanan-kiri gang.

Got-got itu sebagian ditutup. Tapi banyak juga yang terbuka begitu saja. Sehingga mengundang lalat hijau berkeliaran. Sampah-sampah pun berserakan di mana-mana.

“Tempat apa ini, Mbak Nanik?” Aisha terdengar mengerang.

“Ini namanya perkampungan orang miskin, Non.”

“Mereka tinggal di sini?”

Mbak Nanik mengangguk. Aisha sungguh terkejut melihat pemandangan di sekitarnya. Tampak ibu-ibu sibuk mencuci di pinggir sungai kecil. Tak jauh dari situ, anak-anak berenang. Padahal, airnya jelas sekali kotor.

Ada juga yang memasak, tak jauh dari got. Sementara anak-anak kecil berlarian di sekitarnya.

“Ya Tuhan, kenapa aku baru tahu, ya? Di belakang rumahku pula!”

“Non Ais kan belum lama pindah ke kawasan sini.”

Iya juga, pikir Aisha, baru setahun yang lalu. Ketika penyakit Mama semakin parah. Mereka harus membawa Mama ke rumah sakit khusus kanker.

Konon, rumah sakit kanker terbaik hanya ada di Ibukota. Mama tak mau dibawa berobat ke luar negeri.

“Masih jauhkah, Mbak Nanik? Kita sudah beberapa gang nih.”

“Sebentar lagi. Sabar.”

“Memangnya apa yang dilakukan Oma di sini?”

“Nanti lihat saja sendiri, ya.”

“Terus, mengapa harus dirahasiakan segala?”

“Karena Bapak masih marah kepada Bu Dasem.”

“Siapa itu Bu Dasem?”

“Orang yang pernah mengobati Mama.”

“Oh, apa yang suka datang malam-malam itu? Yang pernah dimarahi Papa waktu pemakaman Mama?”

“Iya, iya, dia itu Bu Dasem namanya.”

“Mengapa Papa memarahinya?”

“Bapak menuduhnya telah memberi harapan palsu.”

“Harapan palsu bagaimana?”

“Bu Dasem sering meyakinkan kita. Bahwa penyakit Ibu Non itu bisa disembuhkan, tapi nyatanya….”

“Iiih, Papa aneh-aneh saja!” tukas Aisha. “Papa sendiri yang sering bilang. Kepergian Mama itu karena sudah takdirnya. Sudah digariskan oleh Tuhan.”

“Pssst, itu tempat Bu Dasem!”

Mbak Nanik menunjuk sebuah tempat, paling pojok di kawasan ini. Lahan seluas 500 meter persegi, dikelilingi pagar seng tinggi. Inilah lapak rongsok milik keluarga Bu Dasem. Berbagai macam barang rongsok tampak di mana-mana.

Tetapi, semuanya terlihat ditumpuk apik. Disesuaikan jenisnya; botol dan pecah belah, gelas plastik bekas aqua, besi-besi, barang elektronik bekas dan banyak lagi.

Dua buah mobil bak terbuka berisi barang-barang bekas. Siap diberangkatkan. Beberapa gerobak didorong keluar oleh para abang rongsok.

“Kalau kita terus jalan ke belakang sana,” jelas Mbak Nanik. “Kita akan melihat pemandangan langka. Ayo!”

Aisha mengintil di belakang Mbak Nanik. Beberapa ibu sudah mengenali Mbak Nanik. Mereka menyapa dengan ramah.

“Oma Aisha di belakang sana, Mbak,” kata seorang ibu muda.

Mereka melewati bangunan-bangunan kecil terbuat dari bambu dan seng. Menurut Mbak Nanik, di situlah para penghuninya tinggal.

Aisha sungguh tidak percaya. Bagaimana mungkin orang bisa menghuni kotak seng?

“Inilah kenyataannya, Non. Tapi jangan khawatir. Mereka punya rumah di kampung. Jadi, ini hanya tempat tinggal sementara saja.”

“Oh, syukurlah!” serunya tertahan, bagaimanapun ia merasa lega.

Ternyata Oma sedang membantu Bu Dasem membangun TPA. Tempat pengajian anak. Tanahnya seluas 500 meter persegi.

Direncanakan, selain TPA akan dibangun pula Lapak Kreativa. Yakni sebuah sanggar seni dan budaya. Tempat pelatihan dan kreativitas anak-anak.

Sayup-sayup suara Oma terdengar.

“Kelak, kita akan melihat anak-anak kreatif dan cerdas di sini. Ada yang belajar tari, musik, melukis, mengarang….”

Aisha tercengang-cengang menyaksikan sepak terjang Oma. Didampingi Bu Dasem, Oma kemudian memerintah ini dan itu kepada para tukang bangunan.

Pelan-pelan Aisha menghampirinya. Ia menjejeri Oma dan Bu Dasem.

“Jadi, ini proyek rahasia Oma, ya?” Aisha geleng-geleng kepala.

“Eh, ini anak!” Oma terkejut sekali. “Nanik, mengapa kamu lancang?”

“Maaf, Ibu Oma….” Mbak Nanik tergagap, cemas.

“Nanik, Oma, ya, Oma. Jangan pakai Ibu segala!” Oma berlagak marah.

“Iya, Oma, maaf….” Mbak Nanik semakin tergagap.

“Jangan marahi Mbak Nanik, Oma,” tukas Aisha. “Ais yang memaksanya. Lagian kenapa harus dirahasiakan, Oma? Ini kan kabar gembira?”

“Untuk sementara jangan bilang ke Papa Ais dulu, ya?”

“Kenapa, Oma? Papa pasti bangga lihat kerja keras Oma.”

“Tapi bukan sekarang, Sayangku. Papa masih suka menyesali Bu Dasem,” kata Oma, melirik ke arah Bu Dasem yang berdiri di sampingnya.

“Maafkan menantuku, ya Jeng Dasem?”

“Tidak apa-apa, Oma Ais,” Bu Dasem santun.

Melacak rahasia Oma hari itu, bagi Aisha pengalaman berkesan. Ia memperoleh banyak pengetahuan. Di lingkungannya ternyata ada kawasan kumuh. Anak-anak miskin, orang-orang tak punya. asih banyak yang lebih menderita daripada dirinya.

Beruntunglah, ia memiliki seorang nenek budiman. Oma yang mau berbagi rezeki dengan mereka.

Malam itu, Aisha berdoa: “Tuhan, lancarkanlah semua urusan Oma.”

Siang itu Aisha menunggu kedatangan Om Aldi, adik Mama. Om Aldi baru selesai kuliah di Singapura. Ia akan melanjutkan pendidikannya ke Jerman. Om Aldi berlibur dulu di rumah keluarganya di Jakarta.

Di pekarangan rumah, Aisha nenanti dengan tak sabar. Om Aldi baik dan sangat menyayanginya. Ketika SMA, Om Aldi tinggal di rumah mereka di Medan.

Jika Papa sedang dinas ke luar daerah, Om Aldi banyak membantu mereka. Mulai dari mengawasinya belajar, mengantar-jemput ke sekolah. Bahkan mengambil alih pekerjaan rumah tangga. Mama sangat terbantu karenanya.

Maklum, saat itu mereka belum sekaya sekarang. Belum punya pembantu. Bahkan Mama ikut membantu Papa. Mereka mengembangkan bisnis bersama. Itulah masa-masa penuh perjuangan bagi orang tuanya.

Sayang sekali, ketika bisnis berhasil, Mama malah meninggalkan mereka. Demikianlah takdir yang telah ditetapkan Tuhan.

Tiiiddd…. Tiiid!

Bunyi klakson membuyarkan lamunan Aisha. Mobil Papa yang membawa Om Aldi dari Bandara tiba, memasuki pintu gerbang.

“Papa bawa Om Aldi, Omaaa!” seru Aisha, menggema ke sekitarnya.

Oma bergegas menyongsong yang baru datang. Aisha langsung memeluk Om Aldi, begitu sosok itu turun dari kendaraan.

“Ais rindu sekali sama Om Aldi,” sambutnya riang sekali.

Aisha mencermati penampilan paman kesayangannya itu. Om Aldi ini adik mendiang ibunya. Wajahnya mirip dengan Mama.

“Wooow! Om Aldi sudah seperti bapak-bapak nih? Ada kumisnya segala! Hihi!” celotehnya pula.

“Mmmm…. Terima kasih, Sayang,” pamannya mencium kening Aisha, sepenuh sayang. “Kamu juga sudah besar. Bukan anak-anak TK lagi yang cengeng. Hehe!”

“Katanya Om Aldi mau S2 ke Jerman, ya, benarkah?”

“Iya, Sayangku…. Ais mau ikut Om Aldi?”

“Mau sih, tapi tidak sekaranglah. Masih lama!”

“Sayang, biarkan Om Aldimu bawa kopernya dulu.” Papa mengingatkannya.

“Tidurnya di kamar Ais saja, ya Om Aldi?”

“Hussy! Tidak bisa begitu!” Oma cepat menolaknya.

Aisha menatap neneknya, tidak paham. “Mengapa, Oma? Waktu di Medan dulu, Ais kan suka ditemani Om Aldi. Didongengi dulu sebelum bobo. Iya kan, Om Aldi?”

“Iya, Sayang. Tapi itu kan empat tahun lalu. Ais juga masih TK,” sambung Om Aldi. “Sekarang, lihatlah! Ais sudah jadi gadis kecil yang cantik jelita. Ais pasti punya banyak pengagum di sekolah, ya?”

Aisha menepuk-nepuk keningnya. “Terima kasih, ya, sudah banyak memuji Ais. Jadi tersanjung nih. Hihi!”

Rambutnya yang panjang ikal, kali ini dibiarkan terurai. Ia mengenakan rok terusan, terkesan seperti seorang remaja putri. Posturnya memang lebih tinggi dari anak-anak sebayanya. Orang menyebutnya bongsor.

Sepanjang hari itu Aisha hampir terus-menerus menempel kepada pamannya. Kebetulan hari ini sekolah sedang libur semester. Mereka makan bersama, main di pekarangan, berenang.  Pokoknya, tiada waktu yang terlewatkan tanpa kegiatan.

“Ayo, kita ke Mal, Om Aldi?” ajak Aisha saat hari menjelang petang.

“Besok saja, ya, Sayang. Sepertinya mendung,” elak Om Aldi.

“Tapi Ais belum mau tidur. Masih kepingin main sama Om Aldi,” rengek Aisha.

“Huss, siapa yang menyuruhmu tidur hari gini?”

“Iya sih, tapi…. Kita mau ngapain lagi dong?”

Om Aldi berpikir beberapa saat, lalu cetusnya: “Bagaimana kalau kita internetan? Om Aldi bawa laptop canggih loh!”

“Internetan? Waaah, asyiiiik!” sorak Aisha.

Om Aldi mengambil laptopnya. Kemudian ia meletakkannya di ruang belajar Aisha.

“Nah, mari kita nyalakan laptopnya,” ajak Om Aldi.

Di sekolah sesungguhnya Aisha sudah belajar komputer. Tapi guru melarang anak-anak buka internet. Meskipun ada saja anak yang suka iseng.

“Mengapa dilarang, ya? Di Singapura anak-anak TK saja sudah pintar internetan,” komentar Om Aldi, terheran-heran.

“Om Aldi nih seperti tidak tahu saja. Anak-anak Indonesia gitu loh….”

“Eh, mengapa nadamu terdengar sinis?”

Aisha memperbaiki posisi duduknya. Ia mencoba meralat ucapannya.

“Maaf, bukan maksudku sinis atau apa gitu,” katanya tertawa kecil. “Begini, Om Aldi. Anak-anak di sini kebanyakan masih asing dengan komputer. Meskipun sekolahku keren. Tapi guru melarang anak-anak internetan. Boleh saja internetan, tapi harus diawasi guru.”

“Mungkin guru takut anak-anak buka situs yang aneh-aneh.”

“Apaan tuh, Om Aldi…. Itu barusan, yeeeh, sebentaaar! Jangan dipindahkan dong!”

“Sebentar!” Ia serius sekali mengotak-atik laptop. “Kita akan menangkal virusnya dulu, ya.”

“Oh, biar tidak ada gambar-gambar mengerikan macam tadi, ya?”

“Yap! Sudah amanlah sekarang. Insya Allah,” ujar sarjana teknik mesin itu, menghela napas lega.

Pamannya tak menyukai situs yang tanpa sengaja terbuka sekejap.

Ya, Aisha merasa begitu.

“Tadi itu sebenarnya gambar apaan, Om Aldi?”

“Jangan dipikirkan, ah, anak kecil!”

“Yeeeh…. Om Aldi yang usil! Tadi itu pasti yang dibilang Om Aldi; situs aneh! Mengaku sajalah!” desak Aisha penasaran.

“Kamu masih ingat Om Daniel, bukan? Sobat Om Aldi di Medan itu loh.”

“Oh, anaknya Jenderal yang suka jemput Om Aldi? Suka bawa mobil keren itu, ya kan?”

Om Aldi mengangguk. Aisha belum paham.

“Terus apa hubungannya dengan laptop ini?”

“Dia sekarang sudah terbang ke Amerika. Melanjutkan kuliahnya di sana. Nah, laptop ini pemberiannya, begitu loh….”

Aisha manggut-manggut. Bibirnya tersenyum-senyum.

“Hihi…. Om Aldi segitunya ketakutan. Sudahlah, aku tak peduli laptop ini dari mana. Sekarang, ayo, cepat ajari aku internetan.”

Om Aldi lebih suka menyebutnya: “Berselancar di dunia maya.”

Aisha dengan tekun menyerap semua yang diajarkan oleh pamannya. Selama ini ia telah belajar dasar-dasar komputer.

Ia pun kerap melihat Papa sedang internetan. Namun, ia belum merasa tertarik seperti hari ini.

Om Aldi mengarahkannya untuk buka-buka website atau situs. Kemudian ia menyarankan untuk membuat alamat surat atau email.

“Wooow! Enak juga kalau kita punya email sendiri, ya Om Aldi,” decak Aisha begitu sudah berhasil membuat email.

“Iya, mudah saja, bukan? Isi registrasinya dengan lengkap, ingat nama email-mu. Terutama kita harus ingat kata sandinya.”

“Horeee!” sorak Aisha, berjingkrak-jingkrak kegirangan. “Sekarang aku punya email nih; aisha_regar@yahoo.com. Kata sandinya….”

“Pssst, jangan dikasih tahu kepada siapapun. Ini rahasia untukmu sendiri,” tukas pamannya.

“Kalau buat Om Aldi, it’s okeee!”

“Sekarang Ais bisa kirim email kepada siapapun.”

“Kepada siapapun, sungguh?”

“Iya. Memangnya Ais mau kirim email ke siapa?”

“Mmm…, ini rahasia!”

Papa menyemangatinya. “Laptop peninggalan Mama boleh Ais gunakan.”

“Asyiiiik!” teriak Aisha

Ketika Om Aldi pamitan pergi ke Jerman, Aisha telah mampu memanfaatkan laptop peninggalan ibunya itu.

“Terima kasih, ya Om Aldi, sudah banyak mengajari Ais. Ya, jalan-jalan, belanja dengan cerdas. Menabung dengan kreatif, eh, ikhlas berbagi…. Terutama internetan!” kata Aisha saat mereka akan berpisah.

“Sama-sama, Sayang. Semoga sekarang Ais tidak banyak melamun lagi,” pinta pamannya.

“Insya Allah, tak ada istilah melamun lagi di kamusku!” janji Aisha tegas.

Oma dan Papa pun merasa berterima kasih. Keberadaan Om Aldi yang singkat, ternyata membawa pengaruh sangat baik.

“Nanti kita akan chattingan, ya Om Aldi.”

“Siiiip!”

“Om Aldi jangan lupa balas email Ais, oke?”

“Tentu. Asal Ais tidak bosan baca email Om, pasti mburudul!”

Sejak itulah Aisha punya kegiatan yang menyedot pikirannya. Sehingga ia jarang melamun lagi, atau termenung-menung sendirian.

Sepulang sekolah, jika tidak ada les, ia akan menghabiskan waktunya di depan laptop.

Di kamarnya kini ada tambahan perabotan. Yakni laptop dan printer.

“Ini apa saja gunanya, Non Ais?” Mbak Nanik ingin tahu, mencermati kedua  benda itu.

“Printer ini gunanya untuk mencetak foto atau tulisan dari laptop.”

“Terus laptop ini buat apa?” Mbak Nanik ingin tahu.

“Laptop ini sama dengan komputer, Mbak. Gunanya macam-macam. Bisa dipakai menulis, mengarang, bikin program dan internetan. Bisa juga dengar musik, lagu-lagu, nonton film DVD. Eh, main game juga bisa.”

“Apaan tuh?”

“Main game itu…. Ya, ini nih!”

Aisha memperlihatkan sekeping VCD. Kemudian memainkannya di komputer.

“Aduuuh, ampuuun! Berisiiiik!” seru Mbak Nanik tersentak, kaget sekali.

Gadis itu kontan lari terbirit-birit dari kamar Aisha. Game Wars itu sengaja disetel keras-keras oleh Aisha.

“Makanya, sudahlah! Nanya melulu sih,” kata Aisha sambil terkikih-kikih, geli.

Oma yang melihat dari balik pintu, tersenyum-senyum.

“Terima kasih, ya Allah. Engkau telah memberi kedamaian hati kepada cucuku. Sekarang Aisha mulai tampak riang.”

Bel sekarang sudah diganti dengan alarm. Jadi, tak ada lagi suara bel berdentang. Entah mengapa jadi begitu aturan main di sekolahnya.

Aisha langsung keluar kelas begitu alarm berbunyi. Ia tak peduli lagi dengan anak-anak yang suka bercanda. Sengaja jalan dilambat-lambatkan, megal-megol macam bebek. Ia pun tidak mengiri lagi terhadap anak yang bermanja-manja dengan ibunya.

“Itu tandanya Non Ais sudah bisa berdamai dengan keadaan,” komentar Pak Arman yang tetap setia mengantar-jemput Aisha.

“Entahlah, Pak Arman. Tapi yang jelas, aku kepingin cepat pulang.”

“Kepingin kembali ke laptop, pastinya!” goda Pak Arman.

Aisha tertawa mendengar komentarnya. “Bahasa Pak Arman gaul amat!”

“Ya, iyalah. Siapa dulu dong majikannya. Non Aisha gitu loh!”

“Wuakaka….” Aisha tertawa geli.

Ia langsung berlari ke kamarnya begitu sampai di rumah.

“Non Ais, makan dulu ya,” ajak Mbak Nanik mengingatkannya.

“Iya, Mbak, sebentar…. Aku mau cek email dulu,” jawab Aisha tergesa-gesa mengganti baju. Kemudian tergesa-gesa pula menuju laptopnya.

Kalau sudah berada di depan laptopnya, menjadi lamalah urusannya. Aisha membuka email yang masuk dengan cermat.

“Hmm, Om Aldi sungguh tepat janji,” gumamnya senang. “Pesan-pesannya selalu mburuduuul!”

Isi email dari Om Aldi macam-macam. Mulai dari sekadar menanyakan kabar, berbagi pengalaman kesehariannya di Jerman. Hingga menyalinkan berita-berita terkini tentang ilmu pengetahuan.

Jam di dinding kamar berdentang dua kali. Artinya, Aisha sudah dua jam sibuk dengan laptopnya. Asyik berselancar di dunia maya.

Papa pun suka mengirimkan email untuknya. Kadang mereka bisa ngobrol akrab. Ya, akhirnya Papa bisa meluangkan waktu untuk putrinya. Justru melalui chatting.

“Apa mau diambilkan makanannya ke sini, Non?” Giliran Bibi Ijah yang datang mengingatkannya.

“Bibi tenang saja, ya. Aku sudah makan siang di kantin. Kalau Bibi tidak keberatan, tolong bawakan buah atau cemilan saja,” pintanya dengan tatapan yang tanpa bergeming dari layar laptopnya.

Nah, ini dia, serunya girang sekali. “Ya, ketemu!”

“Memangnya Non Ais lagi nyari apaan sih?” Bibi Ijah kembali dengan cemilan, kripik singkong keju buatannya.

“Sini, Bi, duduk di dekatku,” ajak Aisha memintanya duduk di kursi sebelahnya.

“Baik, Non.” Bibi Ijah  menurutinya.

“Ini namanya Google. Kita bisa mencari sesuatu di kotak pencarian ini nih. Coba, ya, kita cari tentang sekolahku.”

Telapak tangan Aisha yang memegang mouse, digerak-gerakkan.

Klik sana, klik sini. Ketik ini, ketik itu. Menunggu sebentar. Terpampanglah deretan situs yang ada hubungannya dengan kata di kotak pencarian.

“Nama sekolahku ternyata ada di mana-mana,” gumam Aisha.

“Ya, iyalah Non. Namanya juga sekolah internasional. Mungkin sekolah Non ada alamatnya di internet,” tanggap Bi Ijah.

“Benar juga. Wah, Bi Ijah ini ternyata cerdaaas!” puji Aisha.

“Yeeeh…. Siapa dululah yang mengajari. Kan Non Ais yang cantik dan….”

“Jangan diteruskan, ah! Pasti ujung-ujungnya minta aku makan,” tukas Aisha.

Keduanya seketika tertawa. Komunikasi mereka sudah kekeluargaan. Berulang kali Aisha memintanya, agar tidak memanggilnya; Non.

“Sudah kebiasaan, Non, ya sudah saja begini,” kilah Bi Ijah selalu.

Beberapa saat kemudian situs sekolah Aisha sudah terbuka. Berbagai berita, informasi, prestasi dan segala hal tentang sekolahnya bisa dilihat di sini. Melihat keasyikan Aisha, maka Bi Ijah berlalu. Tak mau mengusiknya lagi.

Aisha terus berselancar di dunia maya. Sambil buka-buka situs, ia pun mengaktifkan YM; yahoo massenger.

Jadi, ia bisa chatting dengan Om Aldi atau lainnya.

Oma sering mengingatkannya. “Jangan sampai kecanduan internet, ya Sayang. Manfaatkan internet untuk kebaikan.”

“Tentu saja, Oma sayang. Nasihat Oma akan selalu Ais ingat,” janji Aisha.

***

 

Suatu malam, setelah Aisha selesai mengerjakan PR-nya.

Taaap!

“Alooow…. Lagi online nih si cantik?” sapa Om Aldi.

“Alooow lagi, iya nih, Om Aldi. Ngapain tuh?” balas Aisha girang sekali.

“Baru saja keluar ruang kuliah nih.”

“Oh, iya, ya…. Di Jerman masih siang? Beda tujuh jam waktunya, ya kan Om?”

“Iya, Om Aldi lagi makan sambil chattingan dengan dirimu.”

Aisha langsung mengaktifkan kamera dan suara. Sehingga tampaklah wajah pamannya di layar laptop. Wajah dia pun tentu akan terlihat di sana. Demikian pula ia bisa mendengar suara pamannya dengan jelas.

Meskipun terjarak ribuan mil, mereka bisa melihat dan mendengar langsung suara masing-masing. Inilah keajaiban internet!

“Oya, di Jerman lagi musim apa, Om? Maksudku, selain musim panas.”

“Musim Facebook. Tahu kan Facebook?”

“Pernah dikasih tahu Nayla. Tapi aku belum paham. Memang apaan tuh, Om?”

“Ini semacam jejaring atau link.”

“Apa seperti milis?”

“Wah, Ais makin canggih saja. Tahu milis segala.”

“Siapa dululah gurunya. Om Aldi gitu loooh!”

Aisha sudah ikut mailing list, grup situs di sekolahnya. Ia bisa berkomunikasi dengan teman-teman sekolah melalui milis sekolahnya ini.

“Nah, Facebook ini,” lanjut Om Aldi. “Dari berbagai usia, golongan dan belahan dunia mana pun; bergabung di situs yang bernama Facebook. Kita bisa menulis, mencurahkan isi hati dan pikiran. Kita juga bisa memajang foto, bahkan jualan secara online….”

“Seperti punya situs sendiri, ya Om?”

“Iya, Sayang. Maaf, ya, sampai saat ini Om Aldi belum sempat membuatkan situs untukmu. Maklum, langsung super sibuk nih.”

“Iya, tidak mengapa.”

“Sekarang, maukah Om arahkan kamu membuat Facebook atas namamu?”

“Wooow! Mau sekali! Jadi tidak sabar lagi!”

“Kalau begitu, coba sekarang buka Facebook, ya.”

Aisha mengikuti semua arahan pamannya. Buka http//www.facebook.

Kemudian ia mengisi registrasi, memasukkan namanya dan email. Harus lengkap; nama yang mau digunakan, tanggal lahir dan tahunnya. Keterangan ringkas tentang dirinya. Minat, agama, status, apa yang diinginkan dari jejaring ini.

“Bagaimana, sudah bisa dilihat Facebook kamu?”

Aisha berjingkrak kegirangan. “Sudah, Om Aldi. Inilah rumah mayaku: My Facebook!”

“Bagus. Selamat ber-FB-an, ya…. Sampai jumpa!”

“Waduh, Om Aldi ini, mengapa tanggung?”

“Masih banyak yang mau kutanyakan nih!”

Namun, tak ada balasan lagi dari pamannya. Offline alias sudah cabut!

Aisha seketika merasa tertantang. Ia mengotak-atik sendiri rumah mayanya. Ia mengisi albumnya dengan mengunduh foto-foto yang dimilikinya. Ia pun menulis tentang perasaan dan pikirannya. Setiap saat ia bisa memperbarui atau meng-update rumah mayanya. Hanya dengan menulis sesuatu di kotak; share. Atau memberi komentar atas tulisan seseorang yang masuk ke friend-nya.  Ini semua gara-gara Om Aldi, pikirnya.

Suatu malam yang hening di kamar Aisha.

Papa sedang ke Singapura. Oma semakin sibuk dengan proyek kemanusiaannya. Mbak Nanik dan Bibi Ijah tentu saja sudah beristirahat.

“PR-ku sudah selesai. Aku juga sudah baca buku-buku yang kupinjam dari Perpustakaan. Tapi mataku belum mengantuk. Enaknya…. Kembali ke laptop!” gumamnya sendiri.

Sekilas ia melihat foto mendiang ibunya. Diletakkan di atas lemari rias, di sebelah ranjangnya. Seketika ia merasa rindu sekali kepada mamanya.

“Aku mau menulis kerinduanku kepada Mama, ah,” gumamnya pula.

Maka, ia menulis surat elektronik atau email untuk ibunya di surga. Demikian isi surat yang ditulis di laptopnya.

 

Selamat malam, Mama tercinta;

Semoga Mama baik-baik saja, dan berbahagia di Taman Surga.

Ais, Papa dan Oma juga sehat-sehat saja.

Tapi Ais selalu merindukan Mama. Sampai kapan pun!

Ais tahu, kita tidak akan pernah bertemu lagi di dunia ini.

Karena Mama sudah berbahagia di sisi-Nya.

Bukankah begitu, Mama?

Mama tentu tidak merasa sakit lagi. Tidak menderita lagi.

Penyakit kanker di rahim Mama, pastinya…. Sudah hilang!

Sekarang, Ais sudah menerima keadaan ini, Mama.

Mama sudah pergi jauh. Dipanggil Tuhan, Sang Maha Pencipta.

Kalau Ais lagi rindu Mama, Ais hanya bisa menatap foto Mama.

Lama sekali…. Sambil menangis sedih, Mama….

Maafkan Ais, ya Mama…. Rasa rindu ini sungguh menyedihkan.

Duh, Mama…. Ais menulis email ini karena tidak tahan lagi.

Rinduuuuu, duh, rinduuuu sekali Ais kepada Mama!

Maukah Mama meluangkan waktu untuk membalas surat ini?

Ais mohon Mama, mohon sekalii…

Salam Cinta;

Aisha Siregar

 

“Sekarang tinggal mengirimkannya ke Mama,” gumam Aisha seraya menyusut air mata yang berderai di pipi-pipinya.

Setelah membuka email, kemudian klik compose atau untuk mengirimkannya. Tiba-tiba ia baru teringat sesuatu.

“Apa kira-kira alamatnya, ya?” tanyanya di dalam hati.

Aisha mendadak tertegun. Ya, ia tak tahu harus dikirimkan ke mana email untuk mendiang ibunya ini.

“Aku harus menanyakannya kepada Om Aldi.”

Ia menuliskan pesan singkat di ruangan chatting di bawah nama pamannya.

“Ke mana harus kukirimkan email untuk Mama, Om Aldi?”

Tanpa dinyana, pamannya langsung menjawab. Padahal, sebelumnya Om Aldi mengabarkan. Bahwa selama sebulan ia akan keliling Eropa bersama temannya.

“Sekarang Om Aldi bisa internetan dengan telepon genggam,” jelasnya menjawab keheranan Aisha.

“Wah, asyiiik!”

“Makanya, terima saja kado dari Papa kamu itu. HP canggih tuh, tahu!”

“Tidak mau, Om Aldi. Aku takut kecanduan SMS seperti Nayla.”

“Terserahlah. Nah, tadi itu…. Kirimkan saja ke surga@gmail.com.”

“Benar nih, Om? Di surga sana ada internetan?”

“Tak ada salahnya mencoba, bukan? Nah, Sayang, pesawat yang akan membawa kami ke Inggris sudah datang. Sampai  jumpa ya di FB!”

Maksudnya, Facebook.

Enak sekali menjadi Om Aldi. Seingatnya, pamannya itu selalu mendapatkan apa saja yang diinginkannya. Sejak SD selalu peringkat pertama.

Waktu SMA mendadak kepingin sekolah di Medan. Oma mengizinkannya. Begitu dia kepingin kuliah di Nanyang, Singapura. Dapat beasiswa, gara-gara sukses menyabet peringkat pertama Olimpiade Matematika.

“Sekarang dia dapat beasiswa S2 di Jerman. Om Aldi bilang, kepingin melanjutkan ke Amerika. Apa bisa juga tuh? Mm, Om Aldi, beruntung sekali dirimu!” ceracau Aisha dalam hati.

“Pamanmu itu anak yang saleh. Kuat solatnya, kuat berdoanya, kuat juga belajarnya,” kata Oma suatu kali.

“Ya, aku akan mengikuti jejak Om Aldi. Harus kuat solat, kuat berdoa dan kuat belajar. Menjadi anak yang tegar!”

Tapi sekarang; email untuk Mama harus dikirimkan!

Kliiiikkk!

Surat elektronik itu terkirim sudah ke surga@yahoo.com.

***

Sehari, dua hari, tiga hari….

Aisha menanti balasannya. Setiap kali memeriksa email, hatinya diliputi pengharapan. Segala kerinduan seakan menggejolak dalam dada Aisha.

Seminggu sudah, email itu tak juga ada balasan!

Suatu kali Aisha menemukan pesan singkat di Wall to Wall, atau dinding Facebook-nya.

“Kunjungi www.surga.com. Curahkanlah segala gundah hati ananda.”

Dengan rasa ingin tahu, Aisha mengklik situs yang dimaksud.

Ternyata milik seorang guru TK. Annisa namanya. Sayang sekali, ia tak menemukan fotonya. Ada gambar peri kecil bersayap sebagai ganti foto dirinya.

Aisha bisa melihat aktivitasnya. Banyak juga notes atau catatannya. Album fotonya memuat berbagai macam kegiatan anak-anak TK. Di bawah foto-foto itu ada keterangan.

“Ini anak-anak yang telah kehilangan orang tua.”

“Mereka, Cut Intan, Ratih dan Fahrul, korban tsunami….”

“Inilah sebagian korban kerusuhan di Makassar.”

“Asep, Mila dan Raka ini korban bencana Situ Gintung….”

Akhirnya Aisha menemukan sebuah email yang telah ditulis Bunda. Demikian selanjutnya ia memangilnya. Seperti para sobat kecil yang berkumpul di website-nya.

“Bunda sudah menerima email darimu, ananda sayang. Bunda bisa memahami perasaanmu. Karena Bunda juga telah kehilangan ibu ketika seumurmu.”

Inilah agaknya balasannya. Bukan dari mamanya yang telah berbahagia di surga sana. Melainkan dari Bunda Annisa, pengelola website; www.surga.com.

Aisha segera menyadari hal ini. Anehnya, ia tidak merasa kecewa.

“Ais tahu, Mama memang sudah tiada.”

Lagipula, mana bisa email dari dunia maya sampai ke surga?

Mengapa coba, Om Aldi memberi email ini, ya? Ada-ada saja!

Namun, yang pasti hati Aisha terhibur dengan kehadiran email dari Bunda Anissa. Aisha bisa berbagi kerinduan, kesedihan hatinya dengan seseorang. Seperti para pengunjung, teman-teman kecil www.surga.com  lainnya.

Ia bisa mengundang teman-teman yang terhubung dengan website milik Aisha ini. Kemudian mereka saling berbagi kabar. Macam-macam, mulai dari yang sedih karena ditinggal ayah. Sampai yang kehilangan semua keluarga karena bencana alam.

“Aku tidak sendiri lagi,” gumam Aisha. “Ternyata banyak yang lebih menderita daripada aku.”

Aisha malah masih bisa bersyukur dengan keadaannya. Ia masih memiliki ayah, nenek, paman, dan para pembantu yang baik.

Suatu petang yang mendung. Aisha melihat nama Bunda saat membuka ruang ngobrol di Facebook-nya.

“Bunda, selamat sore…. Mendung-mendung begini, Bunda lagi apa?”

“Ananda Aisha, selamat sore juga,” balas Bunda. “Bunda kan lagi ngobrol denganmu.”

“Terima kasih balasan email-nya, ya Bunda.”

“Sama-sama, ananda sayang….”

“Boleh aku terus mengirim email kepada Bunda?”

“Tentu saja, silakan. Bunda tunggu, ya.”

Sejak itulah, Aisha dan Bunda sering berkoresponden, berkirim email. Sering pula mereka chatting, ngobrol melalui YM; yahoo massenger atau Facebook.

“Pssst, Bunda, lihat! Ada yang nyelonong masuk tuh!”

Nickname, nama yang biasa dipakai Om Aldi di internet.

Tiba-tiba masuk ke ruang chatting mereka.

“Iya, kamu mengenalnya?” tanya Bunda Anissa.

“Om Aldi, pamanku, Bun….”

“Selamat sore, Annisa…. Apa kabar?”

“Sore juga, Mas Aldi…. Alhamdulillah.”

“Hei, hei…. Kalian sudah saling kenal rupanya?”

“Tralalala….” Om Aldi menambah ikon, gambar kepala yang sedang tertawa gelak, hingga berguling-guling.

“Apa?” Aisha menambah ikon kepala yang sedang kebingungan.

“Dia kakak kelas Bunda, waktu di SMPN 3,” Bunda menambahkan ikon tersenyum.

“Woaaa!” Aisha menambah ikon kepala bulat tertawa, berguling-guling.

Ngobrol bareng lintas benua itu pun semakin seru.

Sejak punya jejaring di dunia maya, Aisha tampak lebih ceria.

“Wah, nilai-nilai Ais sekarang jadi bagus. Ini baru namanya anak yang hebat!” puji Papa, ketika mereka sarapan bareng.

“Tentu saja. Sekarang putrimu punya banyak teman dari Facebook-nya,” komentar Oma. “Mereka sering menyemangati dan mendukungnya. Anakmu jadi tersemangati….”

“Tepatnya terinspirasi, Oma. Soalnya banyak cerita orang-orang hebat. Orang-orang luar biasa. Mereka yang bisa bertahan hidup keras, begitulah, Papa, Oma,” celoteh Aisha.

Papa dan Oma terperangah dibuatnya. Bahasa yang dipakai Aisha membuat mereka terheran-heran. Begitu hidup, begitu bersemangat!

Aisha tenang saja. Ia menikmati sarapannya sambil berdecap-decap.

“Mmm, Oma…. Hebat, sedaaap! Nasgor spesial buatan Oma memang rrrruuur biasssa!”

Belakangan ini Oma sering meluangkan waktunya untuk keluarga. Proyek sosialnya tinggal menanti saat yang tepat untuk diresmikan.

“Berkat berita-beritamu di Facebook,” tambah Oma pula. “Tentang Lapak Kreativa kita itu, Oma jadi banyak dihubungi orang.”

“Begitu, ya?” Papa hampir tak percaya. “Apa saja yang mereka perlukan dari Ibu?”

“Selain menyumbang dana, banyak juga yang berminat bergabung sebagai relawan. Ya, semuanya itu berkat cucu Oma yang cantik ini nih.”

“Sebentar,” tukas Papa masih belum paham agaknya. “Maksud Ibu, proyek kemanusiaan Ibu itu dipromosikan di Facebook?”

“Iya, Papa,” sambung Aisha. “Makanya, gaul dong, Pa, gauuuul! Sibuk melulu bisnis, kapan bisa gaulnya?”

“Papamu sekarang mulai sering makan bareng kita,” neneknya mengingatkan.

Aisha sudah selesai makan. Ia meraih gelas dan meminum jus tomat hingga tandas. Papa dan Oma juga sudah selesai.

“Iya juga sih. Boleh tahu, apa penyebabnya, Papa?” tanyanya menyelidik, menatap wajah ayahnya.

“Mmm…. “ Papa mengelak, ia mengusap kepala Aisha. “Maafkan Papa, ya Nak. Sejak Mama tiada, Papa jadi terlalu sibuk.”

“Tidak apa-apa, Papa. Yang penting sekarang kita mulai sering berkumpul.”

“Sebenarnya ada yang mengingatkan Papa,” kata ayahnya mengaku.

“Naaah! Siapa tuh, Pa?” Aisha jadi penasaran.

“Pastinya, pamanmulah, Ais,” neneknya yang menjawab.

“Antara lain itu, tapi ada juga teman Facebook-mu,” kata ayahnya.

Mereka sudah di pekarangan. Papa berdiri di depan mobilnya. Paman Arman di mobil lain, tampak siap pula. Oma dan Aisha akan jalan bareng pagi ini.

“Boleh tidak, Pa, kalau kita kopi darat di sini?” Aisha sebelum masuk mobilnya.

“Kopi darat, bagaimana?” Papa sebelum memasuki mobilnya.

“Pertemuanlah. Oma tidak keberatan!” Oma memutuskan.

“Bagus, Sayang. Papa juga tidak keberatan. Bicarakan saja dengan Oma teknisnya, ya. Nah, sampai jumpa, assalamualaikum….”

Siang itu, Aisha mewartakan undangan kopi darat untuk teman-teman dunia maya di rumahnya. Nayla si pecandu telepon genggam, kali ini sangat membantu. Berkat satu berita, update atau memperbarui laman Facebook-nya, undangan kopi darat itu langsung menyebar.

Ilustrasinya begini: Nayla punya teman 500-an di Facebook. Aisha 300-an. Bunda Anissa 1000-an. Nayla menulis undangan kopi darat kepada teman-temannya. Lalu mereka menyambungkan kepada teman-temannya pula. Demikian seterusnya.

Apalagi Nayla menulisnya begini:

“Alooow, teman-teman! Siapa mau kopi darat usulan dari sobatku, Aisha Regar? Ada permen, coklat dan kue-kue enak loh. Menanti kita semua, ayooo!”

Sorenya, saat Aisha membuka Facebook. Matanya nyaris meloncat!

“Yang sudah oke datang 200-an! Oma, bagaimana ini? Di mana kita sediakan tempatnya?” lapornya heboh kepada Oma yang baru pulang.

“Tenang, pekarangan rumah kita ini bisa menampung 500-an,” sahut Oma kalem. “Sekarang mending pakai agenda sosial. Selain kopi darat, kita bisa melakukan aksi sosial. Bagaimana, ada idemu?”

Aisha berpikir keras. Tiba-tiba bayangan perkampungan kumuh di belakang rumahnya melintas. Yup!

“Sini, Oma!” ajaknya meminta Oma duduk di depan laptopnya. “Oma yang bilang, kita akan melakukan aksi sosial, di kawasan Lapak Kreativa. Ais yang akan mengetikkannya. Setuju?”

Oma mengangguk paham. “Di belakang komplek rumah Aisha, ada perkampungan miskin. Sambil kopi darat, bagaimana kalau kita melakukan aksi sosial? Dengan kerja bakti sosial di kawasan kumuh ini? Sekali mendayung dua-tiga pulau terangkuh. Sambil kenalan, kita dapat pahala. Iya kan, teman-teman? Jangan khawatir, Oma akan sediakan makanan dan penganan buat kita….”

Oma berhenti. Aisha meliriknya, bertanya: “Sudah nih, Oma?”

“Dari Oma begitu sajalah. Ais bisa bahas lagi teknisnya dengan Bunda Anissa,” sahut Oma sambil beranjak, meninggalkannya.

***

Pertengahan bulan Juli, saatnya anak-anak liburan.

Aisha naik ke kelas empat. Angka-angkanya bagus. Rata-rata delapan!

Saat kopi darat pun tiba. Hari Minggu yang cerah. Undangan berkumpul di pekarangan rumah Aisha yang luas. Ternyata yang datang 70 orang. Selebihnya yang telah berjanji, minta maaf, karena bentrok waktunya. Mereka harus liburan bersama keluarga ke luar kota.

Sambil menikmati penganan yang disediakan Oma, rombongan dibagi beberapa kelompok. Papa mengetuai kelompok orang tua. Bunda Anissa mengetuai kelompok anak-anak. Sebagian orang tua sobat kecil itu adalah pengusaha sukses. Saking super sibuknya ibu-bapak mereka, anak-anak jadi kesepian. Mereka inilah yang suka curhat kepada Bunda Anissa. Melalui www.surga.com.

Teng…. Tepat pukul tujuh!

Rombongan pun berpencar di kawasan RW 03. Keberadaan mereka disambut gembira oleh warga. Kelompok bapak-bapak membuat sebuah pemandian umum. Tempat mandi dan mencuci yang bersih.

“Nah! Ini baru namanya kamar mandi dan cuci yang layak. Terima kasih, ya bapak-bapak,” sambut Pak Erwe.

“Semoga bapak-bapak diberi rezeki yang berlimpah!” cetus seorang perempuan tua. “Nenek sudah setahun tinggal di sini. Gara-gara rumah nenek di kampung kena longsor. Yah, baru sekarang ada pemandian umum yang layak. Terima kasih, terima kasih,” lanjutnya pula sambil menyalami bapak-bapak.

Kelompok Papa terharu sekali dibuatnya.

“Kita harus melakukan aksi sosial yang besar,” usul seorang bapak, berperawakan tinggi besar. Seorang pengusaha perumahan agaknya.

“Bagus, Pak Ariel. Ada gagasan?” tantang Papa.

“Memindahkan warga yang tinggal di gubuk liar ke pemukiman baru,” jawab Pak Ariel. “Saya baru buka lahan baru, tapi di luar kota, di kawasan Cikeas, Gunung Putri. Apa mereka mau, ya?”

“Waaah! Dekat rumah Bapak Presiden SBY tuh?” tanya Pak Erwe. “Mau, pasti mereka mau, Pak Ariel!”

“Iya, Pak Ariel. Nanti dananya bisa kita bahas dengan teman-teman. Kalau mau beramal, bukankah jangan kepalang tanggung?” sambung Papa.

“Setuju! Setujuuu!” sahut bapak-bapak yang lain.

“Insya Allah, kalau Tuhan berkenan. Kita akan wujudkan niat baik teman-teman,” tukas Pak Ariel bersemangat sekali.

“Amin ya Robul alamin!” Papa mengaminkannya dengan takzim.

Aisha yang sempat menguping, bergegas kembali ke rombongannya.

“Horeee! Ini semua gara-gara Facebook!” serunya dalam hati.

Belakangan ia pun diberi tahu. Ayahnya dan beberapa pengusaha secara serius mewujudkan gagasan itu. Mereka bertekad membantu kaum miskin. Agar mendapatkan pemukiman yang layak. Meskipun jauh di luar kota, warga menyambutnya dengan sangat bahagia.

Oma dan Bu Dasem telah menanti mereka di Lapak Kreativa.

Di sini bagian kelompok Aisha dan Nayla. Kedua anak perempuan yang biasanya saling menghindar, kini malah bekerja sama. Mereka saling bahu-membahu, mengumpulkan rongsok, barang daur ulang sesuai jenisnya.

Akhirnya mereka pun meninjau Lapak Kreativa. Tembok yang mengelilinginya, sengaja belum dicat.

“Kalian boleh melukis apa saja di tembok ini,” himbau Oma. “Pokoknya, ini ajang kreasi anak-anak!”

Oma dan Bu Dasem membagikan cat kepada mereka.

“Aku akan melukis ibu dan anak yang bersayap,” gumam Aisha semangat sekali.

“Apa pentingnya sih?” selidik Nayla.

“Gambar ini akan selalu menyemangatiku. Pokoknya, ini lambang aku dan Mama. Nanti, kamu komentari gambarku; oke gak?”

“Kamu ini, mengapa masih berangan-angan? Mamamu kan sudah tidak ada. Jangan mimpi terus, sobatku sayang.”

“Pokoknya, bagiku Mama tetap hidup….”

“Iya, tapi di dalam hati kamu saja!” tukas Nayla, buru-buru berlalu.

Ia tidak suka gambar-menggambar. Nayla lebih suka membaca. Itupun terbatas hanya komik-komik, buku bergambar belaka.

“Ada buku komik gak sih di sini, Bu?” tanyanya kepada Bu Dasem.

“Ada! Sebelah sini, ayo, ikut Ibu,” ajak Bu Dasem.

Ia membawa Nayla dan anak-anak lain ke sebuah bangunan. Inilah lapak baca yang disediakan dalam waktu singkat. Oma dan Bunda Annisa diam-diam telah bekerja sama mengatur semuanya. Oma menyediakan rak-raknya. Bunda Anissa memasok buku-bukunya.

Bangunannya ukuran enam kali enam. Berdiri kokoh di antara arena bermain dengan sebuah panggung terbuka. Di dalamnya, tampak rak-rak berderet rapi berisi berbagai macam buku bacaan. Ada sebuah televisi berukuran kecil. Kipas-kipas angin dan lampu penerangan yang cukup. Di lantai terhampar karpet merah muda yang nyaman.

Anak-anak boleh duduk lesehan sambil membaca. Bahkan sambil berbaringan pun tidak ada yang melarang.

“Nah, baru ini buku koleksi Lapak Kreativa,” Bu Dasem menjelaskan.

“Nanti masih akan ditambah lagi,” sambung Bu Anissa yang telah bergabung, membawa serta kelompok lain.

“Silakan, silakan, ambil tempat di mana saja kalian suka,” kata Oma.

Semua kelompok kemudian menunaikan tugas masing-masing.

Saat makan siang, mereka berkumpul di Lapak Kreativa. Bapak-bapak lebih suka duduk-duduk di bawah tenda yang telah disediakan. Ada kursi-kursi dan meja panjang untuk makan secara prasmanan.

Ada pula sebuah bangunan mungil terletak di pojok belakang. Bangunan dengan tembok bercat hijau dan biru cerah. Inilah ruangan untuk TPA, tempat pengajian anak. Digratiskan bagi orang yang tak mampu.

Anak-anak kecil lebih suka bermain. Arena bermainnya di sekeliling Lapak Kreativa. Ada ayun-ayunan, perosotan, enjot-enjotan dan rumah pohon. Yakni rumah-rumahan yang dibangun di antara dua pohon beringin.

Anak laki-laki segera berebutan mencoba menaikinya.

“Ini unik sekali,” puji Pak Ariel, saat mereka mencermatinya. “Bagaimana caranya bisa diatur begini, Pak Regar?”

“Oh, ini memang salah satu keunikan Lapak Kreativa. Mari, kita tanyakan langsung kepada penggagasnya, ibu saya tercinta. Sebentar, ya!”

Papa malah segera mengalihkannya kepada Oma. Bergegas dihampirinya Oma yang sedang dikerumuni ibu-ibu. Maklum, mereka pun sama penasaran. Ingin mengetahui perjuangan ibu sepuh dalam mewujudkan impiannya.

“Sebentar, ya ibu-ibu yang baik. Maaf sekali, saya pinjam  dulu!”

“Wooooo!” seru ibu-ibu, menyorakinya dengan riang.

Oma tertawa malu. “Maaf, sebentar saja. Nanti kita lanjutkan, ya!”

Papa membawa ibunya ke tengah bapak-bapak. “Beliau inilah otak dari semuanya,” ujarnya bangga.

“Sebetulnya, idenya dari Bu Dasem. Oma hanya berusaha mewujudkan semua ide cermerlangnya.” Oma merendah.

Bu Dasem sejak awal lebih banyak melayani. Ia segera didaulat hadirin. Agar memberikan  penjelasan tentang Lapak Kreativa.

“Saya hanya memberi usulan saja. Semuanya Oma yang merencanakan, mencarikan dana, akhirnya mewujudkannya. Yah, seperti inilah jadinya: Lapak Kreativa!” papar perempuan lansia itu dengan segala keluguannya.

Oma merangkul Bu Dasem, memeluknya erat-erat. Kemudian dihampirinya Papa.

“Bagaimana, Menantu, sudah tidak marah lagi, bukan?” tanya Oma.

“Tidak ada yang patut disesali. Maafkan saya, ya Ibu.” Papa membungkuk, menyalami Bu Dasem. “Di pemakaman, waktu itu, saya sudah kehilangan kendali. Sungguh, maafkan saya….”

“Lupakanlah, Pak Regar.” Bu Dasem tersipu-sipu, merasa menjadi pusat perhatian hadirin.

“Yang penting, jangan lupa sumbangannya!” tegas Oma, disambut kepala Papa yang manggut-manggut.

Bapak-bapak masih penasaran, mencermati rumah pohon unik itu. Seorang bapak mencoba menaikinya. Ingin melihat pemandangan dari atas. Kelakuannya segera terlihat oleh ibu-ibu.

“Wooooi! Jangaaan!”

“Iya, nanti rubuuuh!”

“Itu sudah ada tanda peringatan. Hanya untuk anak-anak!”

Suasananya menjadi semarak sekali. Tawa dan canda memenuhi areal Lapak Kreativa. Sebuah kawasan yang sebelumnya terpinggirkan. Kumuh, di antara barang rongsok yang menggunung.

***

Aisha tak memedulikan segala hiruk-pikuk di sekitarnya. Ia larut dengan cat tembok dan lukisan yang ingin diwujudkannya.

Ketika acara di Lapak Kreativa selesai. Mereka semua merasa gembira. Terutama Nayla. Ia terpingkal-pingkal, melihat lukisan karya Aisha.

“Ini yang namanya lambang kasih sayang ibu dan anak, ya? Huahaha!”

Bagaimana tidak? Sebab, lukisan Aisha hanya berupa coretan mirip pohon dengan dua lembar daun lebar. Melayang-layang.

“Wuakaka! Ini namanya lukisan aneh bin ajaib!” seru Nayla, semakin geli.

Anak-anak lain ikut mencermati. Mereka sama tertawa geli.  Tapi, lukisan lainnya pun tak kalah lucu dan menggelikannya. Ada yang maunya melukis rocker, penyanyi rock cantik. Jadinya malah mirip ondel-ondel.

“Tidak apa-apa. Ini semua karya anak-anak. Asli loooh!” Oma menyemangati.

“Benar nih, Oma?” tanya Aisha. “Semua lukisan ini gak bakalan dihapus?”

“Oh, tidak akan pernah! Ini akan tetap diabadikan. Sebagai batu pertama Lapak Kreativa,” janji Oma tegas.

Tawa dan canda pun pecah di pelosok Lapak Kreativa.

Melihat keriangan anak-anak, Aisha jadi terbawa riang. Ia tidak merasa tersinggung. Ia harus mengakui. Lukisannya bukan lambang kasih sayang ibu dengan anak. Malah kalau dipikir-pikir; mengapa jadi mirip pohon berekor panjang, ya?

“Mengapa jadi begini, ya Oma?” tanyanya sambil tertawa, saat mereka pulang.

“Artinya, sejak saat ini, marilah kita hidup dalam kenyataan,” kata Oma.

Aisha manggut-manggut. Meskipun masih kecil, tetapi ia mulai paham. Bahwa yang telah pergi takkan kembali.

Kesadaran itu mulai tumbuh kuat. Meskipun Mama telah tiada, hidupnya harus tetap berlangsung. Mewujudkan cita-cita dan harapan mendiang mamanya.

“Kopi darat hari ini banyak sekali manfaat dan hikmahnya,” berkata Papa saat mereka bercengkerama.

Aisha sambil memijiti bahu-bahu neneknya, memandangi wajah ayahnya. Papa baru 35 tahun, pikirnya. Masih muda, enerjik dan banyak urusan. Sesungguhnya Papa membutuhkan seorang pendamping.

“Papa suka tidak sama Bunda Anissa?” celetuk Aisha tiba-tiba.

Oma mengerling ke arah menantunya. “Tentu suka. Oma lihat, mereka sempat ngobrol akrab. Pasangan yang serasi, ya kan, Ais?”

“Iya!” tanggap Aisha bersemangat.

“Ah, kalian ini  bicara apa!” Papa bangkit, kemudian cepat berlalu dari hadapan anak dan mertuanya.

Oma dan Aisha saling pandang.

“Apa kita salah bicara, Oma?”

“Mmm, rasanya tidak juga.”

“Mengapa Papa seperti ngambek, ya?”

“Mungkin Papa butuh waktu untuk berpikir.”

“Eeeh, sebetulnya kita ini lagi ngomongin apa sih, Oma?”

“Bunda Anissa dengan Papa Ais. Bukankah mereka serasi?”

“Maksudku, Oma tidak keberatan?”

“Papa Ais membutuhkan seorang pendamping. Bunda Aisha masih lajang. Kalau Ais tidak keberatan….”

“Tidak, Oma!” tukas Aisha. “Bunda Anissa orang yang baik. Ais suka sama dia. Orangnya penyayang, alim, pintar dan cantik….”

Seketika dari belakang mereka terdengar suara: “Kalian ini bicara apa? Seenaknya saja main Mak Comblang!”

Beppp!

Tak ada lagi yang berani angkat bicara.

***

Ulang tahun Aisha yang ke-9 tinggal sehari lagi. Tapi Aisha sama sekali tak melihat persiapan apa-apa di rumahnya.

“Aku harus tahu diri,” gumamnya sendiri.

Dipandanginya foto keluarga yang menggantung di dinding kamarnya.

“Masih lengkap. Ada Opa, Oma, Papa, Mama, aku dan Om Aldi.”

AC di kamarnya mendadak terasa dingin sekali.

“Sekarang di rumah ini….”

Aisha mengibaskan tangannya. Serasa ada yang menggayuti pundaknya. Ya, dingin sekali. Dan sepi!

“Tinggal bertiga saja…”

Rasa dingin dan sepi itu serasa menyesakkan dada Aisha.

“Uh, lama-kelamaan di sini aku bisa…. Mati beku!”

Aisha bergegas meninggalkan kamarnya. Ia menuju pekarangan belakang. Beberapa saat berkeliling, mencermati tanaman anggrek punya Oma. Menengok sudut apotik hidup kesayangan neneknya.
Bosan berkeliling, ia beralih menuju kolam renang.

Di sini, setahun yang silam, ia masih melihat ibunya. Duduk di kursi panjang ini, memandanginya yang sedang berenang. Sejak ibunya tiada, Aisha jadi jarang berenang. Namun, belakangan neneknya berhasil menggugah semangatnya. Oma mengundang teman-teman kecilnya. Kemudian meminta mereka menemani Aisha bermain, sepuasnya di kolam renang ini. Dengan begitu mau tak mau, Aisha harus turun ke kolam juga.

“Oma memang banyak akalnya,” gumamnya, tersenyum sendiri.

Mbak Nanik bilang tadi: “Oma sedang ada urusan penting. Jalan bareng Bu Dasem dan Bunda Anissa.”
Seketika Aisha teringat sesuatu. Diliriknya jam tangannya. Benar, ini tanggal 10 November. Setahun yang silam, ibunya menghembuskan napasnya yang terakhir. Di rumah sakit, Papa, Oma dan dirinya ada di sana.

“Aku lupa! Aku harus ziarah ke makam Mama!” serunya tertahan.

Mengapa ia sampai lupa, ya? Apakah Oma pergi ziarah ke makam Mama? Tanpa mengajaknya? Mengapa ia baru menyadarinya sekarang? Bahwa kepergian Mama itu, sehari sebelum ia berulang tahun.

“Tuhan!” Aisha mengetuk dahinya sendiri.

Ia bergegas mencari Bibi Ijah di dapur. Bersama Mbak Nanik, perempuan itu sedang sibuk memasak.

“Bibi, apa Pak Arman ada?”

“Kan mengantar Oma, Non.”

“Ini kan hari libur, ya Bi.”

“Iya Non, ini kan hari Pahlawan gitu….” Mbak Nanik nyeletuk.

“Bukan itu maksudku! Kalian ini sungguh…. Ops!” suara Aisha agak keras, mengejutkan Bibi Ijah dan Mbak Nanik. “Oh, maaf, maaf, ya Bi, ya Mbak…”

Aisha segera menyadari, telah berlaku tidak sopan. Segera dihampirinya mereka, diambilnya tangan mereka satu per satu. Kemudian diciuminya dengan santun.
Bibi Ijah dan Mbak Nanik terpana. Aisha telah mencium tangan mereka!

“Sudah dulu, ya Bi, Mbak…. Aku mau pergi dulu!”

“Hei, Non mau ke mana?” Bibi Ijah dan Mbak Nanik segera mengejarnya.

Aisha melesat ke arah depan rumahnya. Terus melintasi pintu gerbang. Berdiri beberapa saat di pinggir jalan raya. Tak memedulikan seruan Bibi Ijah dan Mbak Nanik yang panik.
Sebuah taksi kebetulan melintas. Aisha cepat menghentikannya.

Bleeesss!

Bibi Ijah dan Mbak Nanik terperangah hebat. “Nooon! Non Aiiiis!”

***

Sebuah Tempat Pemakaman Umum di luar kota Jakarta.

Pukul sebelas siang yang mendung. Aisha berdoa khidmat di makam ibunya. Ia menumpahkan segala perasaan rindunya kepada Mama. Ia juga membagi berbagai pengalamannya belakangan ini. Aisha baru menyadari. Betapa jarangnya ia diajak berziarah oleh nenek atau ayahnya. Ya, mereka melakukan itu dengan alasan tersendiri.

Oma bilang, ”Biarlah tidak perlu diajak. Kita akan mengantarnya berziarah, jika Aisha yang memintanya sendiri.”

Papa lain lagi, “Setiap kali diajak ziarah ibunya, kerjanya hanya menangis dan menyesali kepergian ibunya. Itu sungguh memedihkan hati siapapun. Sekaligus tidak baik untuk perkembangan jiwanya.”

Ya, karena itu pula Aisha memutuskan tidak sering ziarah ke makam ibunya. Hatinya selalu hancur-lebur. Perasaan dan pikirannya jadi kacau-balau. Tidak! Lebih baik Aisha mengenangnya di dalam hati. Tanpa perlu melihat klangsung makamnya. Bayangan Mama, wajah Mama, akan senantiasa ada di dadanya!

Sekarang, ia telah melakukan perbedaan! Entah dari mana munculnya keberanian itu. Bahkan ia telah berani ke sini, seorang diri. Hanya dengan taksi.

“Nah, Mama, sekarang lihatlah. Anakmu ini sudah besar. Besok ulang tahunku ke-9. Mama pasti ingat itu!” gumamnya seraya memupus air mata yang berderaian, membasahi pipi-pipinya.

“Aku tidak mau menjadi anak cengeng, Mama. Uh, uh…. Ini tangisku yang terakhir di depan Mama. Janji!” desis Aisha bertekad.

Ia mengusap-usap nisan ibunya. Membelai huruf-huruf nama ibunya, tanggal dan tahun lahir serta wafatnya.

Maharani binti Ahmad Kosasih
Lahir: Bandung, 21 April 1970
Wafat: Jakarta, 10 November 2008

Kemudian Aisha perlahan bangkit. Ia merasa telah selesai berdoa, dan curhatan kepada Mama tercinta.
Ketika itulah, tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namanya.

“Aishaaaa!”

Aisha mencari suara itu. Tampaklah dari kejauhan rombongan kecil. Agaknya berita tentang Aisha minggat dengan taksi telah menyebar luas. Bibi Ijah panik, menelepon semua orang yang dikenalnya. Tampaklah Oma, papa, Bunda Anissa, Bu Dasem, Nayla, Bimo bahkan Bu Airin. Ya, Bu Guru pun ikut rombongan. Sama ingin mencari Aisha!

“Aduuuh! Ngapain harus pake acara minggat segala sih? Kalau mau ke sini, bilang aja sama aku. Kan kita bisa bareng… minggatnya!” Nayla meracau, meledeknya habis-habisan.

“Iya nih anak. Bikin kita panik saja,” sambung Bimo yang terkenal tukang banyol di sekolah mereka. “Kalo mau bikin barisan orang suteres, jangan di kuburan. Tapi ikutan nyaleg, tauuuk!”

“Apaan tuh nyaleg?” tanya Aisha, tak paham.

“Jadi itu loh, calon legislatif, caleg. Kalo nyalonin kan jadi; nyaleeeg! Wuakaka!”

Semua yang mendengar ikut tertawa dibuatnya. Mereka kemudian bersepakat untuk berdoa di makam Mama. Melihat ketulusan orang-orang itu, hati Aisha terharu sekali. Ia yakin kini bahwa dirinya sungguh tidak sendiri. Ada banyak orang yang memerhatkan, peduli dan menyayanginya.

“Kami bertiga memang jalan bareng,” Oma mengaku, usai ziarah di makam Mama.

“Iya, ceritanya kita jadi panitia pelaksana,” sambung Bunda Anissa.

“Besok kita ada acara spesial di Lapak Kreativa. Mengundang seratus anak yatim,” lanjut Bu Dasem.

“Acara spesial apa?” Nayla dan Bimo penasaran.

“Awalnya ini akan jadi rahasia. Tapi, sudahlah,” kata Papa. “Besok, kami berharap sekali, kalian datang ke acara selamatan Lapak Kreativa. Sekaligus ulang tahun Aisha.”

Aisha terperangah. Ternyata keluarganya kini telah menjadi besar. Selain dirinya, Oma dan Papa. Ada Bunda Anissa, Bu Dasem, Nayla, Bimo, Bu Airin dan banyak lagi. Esok harinya, di Lapak Kreativa memang digelar acara spesial.

Selain warga sekitar RW 02, teman-teman Facebook, masih ditambah kehadiran 100 anak yatim. Ada seorang ustaz kondang yang memberi tausyiah. Tentang makna persahabatan dan sedekah. Aisha merasa bahagia sekali. Dipeluknya Oma dan Papa sebagai rasa terima kasih. Disapanya akrab teman jejaringnya. Warga sekitarnya, anak-anak yatim. Ya, semuanya saja yang telah membuatnya merasa bahagia.

“Pssst, lihat Papa kamu,” bisik Nayla suatu kali.

“Ada apa dengan ayahku, Nay?”

Tampak Papa sedang berbincang akrab dengan Bunda Anissa. Sesekali terdengar tawa mereka yang riang.

“Memangnya kamu gak takut punya ibu tiri?”

“Ibu pengganti, aku klebih suka menyebutnya begitu.”

“Iyalah, apapun namanya. Tetap saja ibu tiri itu jahat, tauuuk!”

“Husy, tidak semuanya begitu. Buktinya, Mama Dina, ibu tiri aku baiiiiik banget,” serobot Bimo.

Nayla dan Aisha berpandangan. Bimo menjadi anak yang periang, humoris. Inilah buah didikan Mama Dina. Ibu kandung Bimo telah tiada. Tak lama setelah melahirkan Bimo.

“Iya juga, ya…. Mama kamu itu baik banget. Kalo kita ke rumahmu, pasti dijamu macam-macam. Mama kamu itu tulus sekali,” puji Nayla.

“Jadi, bagaimana nih?” Bimo menatap Aisha.

“Apanya yang bagaimana?”

“Mau gak kalau kamu punya ibu pengganti?”

“Jika Tuhan berkenan, Bunda Anissa menjadi ibu penggantiku, insya Allah. Aku sama sekali tidak keberatan,” ujar Aisha tenang.

Langit di atas mereka cerah sekali. Tak ada awan atau mendung. Padahal sejak beberapa hari Ibukota diguyur hujan.

“Kita ke rumah pohon, ayo!” ajak Aisha.

“Ayoooo!” sambut Nayla dan Bimo, berjingkrak girang.

Dari rumah pohon itu, mereka bisa melihat pemandangan yang unik. Ada perkampungan kumuh. Ada sungai kecil. Ada gedung-gedung pencakar langit.

“Inilah rumahku, rumah dalam duniaku yang nyata,” gumam Aisha, menghela napas dalam-dalam.
Seluruh kepedihan, semua ganjalan harus ada penyelesaian. Aisha merasa telah menemukannya kini. Ia pun telah siap menyongsong hari esok yang lebih baik.

“Terima kasih, Mama. Telah melahirkanku ke dunia. Terima kasih Tuhan, telah memberiku kesempatan hidup. Aku ingin menjalaninya dengan baik.” (Tamat)

Bagikan Cerita

Baca artikel menarik lainnya

Punya Naskah Cerita Sendiri?

Kirim Naskahmu Sekarang!

Naskah-Homepage