Frame 117

Rok Pertama Yaya

By Kak Novia Syahidah

“Nanti kalau Yaya sudah besar, Yaya akan pakai kerudung juga kayak Kak Rita,” kata Yaya suatu malam. Saat itu mereka sekeluarga sedang berkumpul di ruang tengah.

“Pakai kerudung? Enggak salah, nih? Pakai rok aja enggak bisa?” olok Rifki sambil tertawa.

“Yaya bisa kok pakai rok. Buktinya ke sekolah Yaya pakai rok,” balas Yaya membela diri.

“Itu kan karena terpaksa. Pakai kerudung kalau terpaksa, ya percuma! Enggak ada pahalanya,” ujar Rifki lagi.

Yaya cemberut. Hatinya kesal karena niat baiknya disangsikan.

“Tapi setidaknya, Yaya sudah lebih hebat dari kamu, Ki,” kata Rita. “Dia sudah punya niat untuk jadi lebih baik.”

“Yah, ada yang bela!” Rifki mencibir.

“Siapa tahu Yaya memang sungguh-sungguh dan mulai belajar pakai rok seperti anak perempuan yang lain,” Bunda menimpali sambil tersenyum penuh arti pada Rita.

“Betul! Kak Rita yakin kok, dalam waktu dekat ini Yaya akan membuktikan niatnya,” kata Rita mendukung dan melirik Yaya penuh arti.

“Kalau Ayah sih, mau lihat buktinya dulu. Kalau memang benar, itu baru hebat!” Ayah ikut bersuara.

“Ah, mana mungkin, Yah! Lihat saja, paling kaki celananya yang makin digulung kalau mau naik sepeda atau manjat pohon,” Rifki masih mengolok.

Yaya tak bersuara. Mulutnya makin manyun. Tapi dalam hati ia mulai bimbang. Benarkah ia akan betah memakai rok seharian? Sedangkan ke sekolah saja ia selalu memakai celana selutut yang digulung di balik rok seragam. Begitu sampai di rumah ia tinggal melepas roknya dan tidak perlu repot-repot lagi mencari celana selututnya.

Ah, Yaya benar-benar ragu kini. Olok-olok Rifki adalah sebuah tantangan baginya, tapi sekaligus membuatnya takut. Ia seperti akan kehilangan kebebasan jika harus melepas celana selutut dan menggantinya dengan rok yang ribet.

Ia bisa membayangkan betapa repotnya mengayuh sepeda, apalagi memanjat pohon, tanpa memakai celana pendek atau celana panjang. Ia juga tidak akan bisa lagi duduk sembarangan, takut pahanya kelihatan. Duh! Yaya jadi pusing.

@@@

Siang itu Gina bermain di rumah Yaya. Gina adalah tetangga terdekat Yaya. Mereka sering bermain bola bekel bersama. Gina baik hati, tidak sombong. Makanya, Yaya senang bermain dengannya.

Gina juga pandai bercerita seru. Kalau Gina sedang bercerita, Yaya sampai tak berkedip. Seru habis pokoknya!

Sedang asyik-asyiknya bermain, tiba-tiba Gina dipanggil ibunya.

“Wah, aku dicari ibuku. Aku lupa, tadi aku janji mau bantu ibuku bikin kue bugis pesanan Datuk Guru. Malam ini di rumah Datuk Guru mau diadakan syukuran, jadi pesan kuenya banyak banget. Aku pulang dulu, ya,” pamit Gina sambil menyerahkan bola bekel ke tangan Yaya.

“Iya,” jawab Yaya singkat tanpa beranjak dari duduknya.

la hanya menatap gerakan Gina yang cekatan saat bangkit dari duduk dan melangkah buru-buru menuju rumahnya. Pada saat itulah Yaya baru tersadar akan sesuatu.  Ya, ia baru sadar kalau model rok yang dipakai Gina sangat luwes untuk bergerak. Rok celana yang bentuknya mekar sampai sebatas lutut. Sekilas, rok itu tampak seperti rok biasa. Tetapi ketika melakukan gerakan yang agak bebas, baru kelihatan rok itu ada celananya.

Yaya tersenyum sendiri. Kini ia mendapatkan ide bagus untuk membuktikan niatnya tadi malam. Dengan penuh semangat ia langsung berdiri mencari Bunda dan membiarkan bola bekelnya menggelinding begitu saja di teras samping.

“Bunda! Bunda! Kapan Yaya mau dibuatkan rok?” seru Yaya.

Saat itu Bunda sedang memetik beberapa tangkai daun talas di pinggir kolam yang terletak di belakang rumah untuk makan ikan.

Bunda mengerutkan alis seraya bertanya, “Buat rok? Kapan, ya?”

“Jangan lama-lama, Bunda! Nanti Bang Rifki meledek Yaya terus,” Yaya setengah mendesak.

“Yaya sungguhan mau dibuatkan rok? Nanti cuma dipakai sekali, habis itu disimpan saja di lemari,” kata Bunda sangsi.

Wajah Yaya masam. “Yaaa, Bunda gimana, sih? Kan tadi malam Yaya sudah bilang kalau Yaya sungguhan mau pakai rok,” ujar Yaya.

Bunda berkata sambil tersenyum, “Iya, iya. Nanti Bunda yang jahit sendiri. Yaya maunya rok kayak apa?”

Lalu Yaya menjelaskan seperti apa model rok yang diinginkannya. Bunda menyimak sambil mengangguk-angguk.

“Besok sudah jadi kan, Bunda?” tanya Yaya tidak sabar.

“Kok besok? Harus beli bahannya dulu, baru dijahit. Paling cepat hari Jumat baru jadi,” jawab Bunda.

“Jumat? Tiga hari lagi? Lama banget!” keluh Yaya kecewa.

“Beli bahannya kan jauh di pasar. Bunda ke pasar hari Kamis. Yaya sabar dulu,” jelas Bunda menenangkan.

Yaya hanya diam, antara kecewa dan harap.

@@@

Akhirnya, hari Jumat pun tiba. Yaya tidak sabar menunggui Bunda menjahit roknya. Rok pertama yang akan ia pakai bermain. Rok dengan motif kotak-kotak biru itu tampak cantik sekali, mekar seperti rok Gina. Tapi di mata Yaya, rok buatan Bunda itu terlihat lebih manis. Ada kantong di samping kiri dan kanannya.

“Nanti buatkan lagi ya, Bunda, yang banyak. Masa rok Yaya cuma satu, enggak ganti-ganti,” kata Yaya bersemangat.

Bunda menjawab dengan senyuman. Ada kelegaan di hati beliau melihat perkembangan Yaya yang menggembirakan itu. Meski perempuan, kadang kelakuan Yaya sangat mirip anak laki-laki. Kadang dia ikut main kasti dengan anak laki-laki. Yaya juga suka kebut-kebutan naik sepeda. Soal panjat-memanjat pohon, Yaya sudah sangat mahir. Tapi untungnya, Yaya lebih sering main dengan Neti, Iris, dan Erna ketimbang teman laki-lakinya.

“Nah, selesai. Ayo, dicoba dulu!” kata bunda.

Dengan hati berbunga-bunga Yaya langsung mencobanya. Pas sekali. Si Ocis yang sejak tadi berputar-putar di kaki Yaya, ikut mengeong-ngeong senang.

“Wah, Yaya jadi cantik pakai rok kayak gitu,” puji Rita yang baru pulang dari sekolah.

Yaya hanya tersenyum malu.

“Kalau roknya lebih panjang lagi, Yaya tinggal pakai kerudung. Jadi deh kayak Kak Rita,” ujar Rita lagi menggoda.

“Yeee, Yaya kan masih kecil. Pakai kerudungnya nanti kalau sudah besar,” jawab Yaya cepat.

“Loh, kalau dari kecil sudah dipakai, nanti enggak canggung lagi. Karena sudah terbiasa,” balas Rita tersenyum.

“Enggak mau, ah! kata Bunda, Yaya belum berdosa kalau masih kecil dan belum akil balig. Kata Bu Guru di sekolah juga begitu,” elak Yaya tak mau kalah.

“Iya sih, tapi belajar dari kecil kan lebih baik, seperti mengukir di atas….” Rita masih terus meyakinkan adiknya itu.

“Batu!” seru Yaya semangat.

“Waah, pintar sekali adik Kakak,” ujar Rita sambil menjawil pipi adiknya itu.

“Iya, iya. Tapi….”

“Tapi apa, hayo?” Rita berkacak pinggang.

“Yaya jadi enggak bisa manjat pohon lagi. Masa pakai kerudung masih suka manjat pohon?”

“Loh, kan enggak ada larangan manjat pakai kerudung,” jawab Rita.

“Yeee, Kakak nih yang enggak tahu!” balas Yaya dengan ekpresi mengejek.

Kening Rita berkerut. “Kata siapa? Kayak apa larangannya?”

“Kata Datuk Guru. Enggak boleh manjat pohon apalagi pakai rok dan kerudung.” Yaya terdiam sejenak. “Kalau enggak pakai celana panjang dalaman dan kalau yang dipanjat pohon orang lain!”

Rita benar-benar gemas. Dengan cepat tangannya menjalar ke sekujur tubuh Yaya, menggelitiki adik bungsunya itu sepuas hati. Yaya menjerit-jerit sambil tertawa. Bunda hanya bisa menggeleng-geleng sambil membenahi mesin jahitnya.

@@@

“Wah, ini baru adik Bang Rifki! Pakai rok!” seru Rifki.

Sore itu Rifki melihat Yaya sedang bersiap-siap ke musala untuk mengaji. Yaya tak peduli dengan godaan abangnya yang jahil itu. Ia sudah siap dengan sarung dan mukena di tas, juga kotak nasinya.

“Jadi anak perempuan, ya harus begitu. Jangan malah kayak anak laki-laki, dosa tau!” ujar Rifki lagi. “Di rumah ini, cukup Bang Rifki aja satu-satunya yang ganteng.”

“O… jadi ceritanya Rifki merasa tersaingi selama ini?” ledek Rita dari ruang dalam.

“Bener tuh, Kak. Hayo, Bang Rifki ngaku, deh!” Yaya merasa dapat dukungan.

“Hehe, iya juga, sih,” Rifki nyengir. “Soalnya selama ini Bang Rifki kan sudah bangga jadi anak laki-laki tunggal di rumah ini. Masa Yaya ikut-ikutan? Dulu Abang juga sudah bangga banget jadi anak bungsu. Eh, tahu-tahunya Yaya lahir. Batal deh jadi anak bungsu.”

Yaya tertawa. “Emang enak!” serunya sambil berlari menuju halaman. Di sana Gina sudah menunggu.

“Rok kamu baru, ya? Bagus banget,” tanya Gina dengan mata berbinar. Yaya mengangguk bangga. Ini adalah rok pertamanya, yang ia minta sendiri pada Bunda. Selama ini selalu Bunda yang ingin membelikan, dan Yaya tak pernah suka memakainya. Sebab rok itu tidak ada celananya.

“Hihi, kamu jadi kayak anak perempuan beneran,” kata Gina sambil tertawa geli.

“Aku kan memang anak perempuan beneran!” sahut Yaya cepat.

Mereka pun sama-sama tertawa cerah, secerah sore yang berwarna jingga. (*)

-- Akhir --

Bagikan Cerita

Baca tulisan menarik lainnya

Punya Naskah Cerita Sendiri?

Kirim Naskahmu Sekarang!

Naskah-Homepage