Frame 117

Peri Naila Takut Musim Semi

By Ovianty

“Mulailah bekerja para Peri! Musim semi sebentar lagi akan tiba.” Ratu Peri mengedarkan pandangan. Semua peri terlihat semangat.

“Yuhuuu!” teriak para peri kegirangan. Mereka langsung terbang ke segala arah. Sayap-sayapnya yang berwarna-warni sangat indah ditimpa sinar matahari.

Tiba-tiba mata Ratu Peri tertuju ke Peri Mimisa yang bermuka masam. “Ada apa Peri Mimisa? Kamu tidak mau menyemprotkan ramuan ke bunga?”

Peri Mimisa kaget. “Mau, Ratu. Tapi…, tapi…, saya tidak ingin kerja bareng Peri Naila. Karena pasti saya yang mengerjakan sendirian.”

Gantian Ratu Peri yang kaget. “Lho, memangnya Peri Naila tidak mau bekerja?”

Semua peri diam, sambil melirik satu sama lain.

Ratu peri kesal. “Mana Peri Naila?”

Peri Dundun, yang menjadi koordinator perayaan musim semi, maju ke depan. “Maaf, Ratu, Peri Naila sedang sakit.”

“Tuh kan. Setiap musim semi, dia pasti sakit,” sungut Peri Mimisa. Sayapnya bergerak-gerak tidak beraturan, tanda kesal.

“Peri Dundun, kamu datang ke rumah Peri Naila bersama Peri Ramuan! Periksa kesehatan Peri Naila segera!” perintah Ratu peri.

Peri Dundun mengangguk. Sekarang ia harus mencari Peri Ramuan dulu. Peri Ramuan memang mempunyai keahlian mengobati para peri yang sakit.

Setelah Ratu Peri dan semua peri mulai bersiap-siap bekerja, Peri Mimisa menghampiri Peri Dundun. “Saya ikut ke rumah Peri Naila.”

“Tidak bisa, kamu tunggu di sini aja.” Peri Dundun tidak mau menganggu Peri Naila, bila datang bertiga, terlalu ramai. Peri Dundun pun pergi.

Tinggallah Peri Mimisa yang masih kesal. “Hah, lebih baik saya bekerja dengan peri lain saja.”

Beberapa peri sudah mulai bekerja dengan giat. Peri Jurin dan Peri Luisna, menaburkan serbuk ke tanaman agar cepat berkembang. Peri Kung dan peri Wirsin, mengajak pohon latihan menyanyi lagu musim semi. Peri Lila dan Peri Cia menyemprotkan wangi musim semi ke mana-mana.

Peri Mimisa yang duduk, hanya bisa memandang dengan sedih. “Huh, kapan aku bisa mulai bekerja?”

Peri Mimisa bangkit, ingin pergi. Tiba-tiba muncul Peri Dundun dan Peri Ramuan.

“Peri Naila masih sakit,” kata Peri Dundun dan menambahkan, “Nanti saya bantu kamu. Supaya Peri Naila bisa istirahat.”

Peri Mimisa benar-benar kesal. “Memangnya sakit apa sih? Aku tidak percaya.”

Peri Mimisa langsung terbang, meninggalkan Peri Dundun dan Peri Ramuan. “Mana bisa begitu? Siapa tahu bohong. Aku mau buktikan sendiri.” Peri Mimisa melesat ke rumah Peri Naila.

Rumah jamur Peri Naila terlihat sepi. Jendela dan pintunya tertutup. Peri Mimisa mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Peri Mimisa mengetuk jendela.

Terdengar suara dari dalam. “Aku sakit, tidak terima tamu.”

“Buka pintunya, saya Ratu Peri!” seru Peri Mimisa berbohong.

Pintu seketika terbuka. Peri Naila membungkuk. “Maafkan saya, tidak tahu Ratu Peri yang datang.”

Peri Mimisa tertawa. “Mana ada peri sakit bisa berdiri? Berarti kamu sehat dong!”

Peri Naila terkejut. “Kok ada kamu. Mana Ratu Peri?” Peri Naila celingukan dan sadar kalau dia dibohongi Peri Mimisa.

“Aku mau istirahat.” Peri Naila mau menutup pintu, tapi tangannya dipegang oleh Peri Mimisa.

“Musim semi hampir tiba. Kita harus menyemprotkan ramuan ke bunga, agar bermekaran indah.” Peri Mimisa menarik tangan peri Naila, membawanya terbang.

Peri Naila meronta. “Tolong lepaskan aku, Peri Mimisa!”

Sambil terbang Peri Mimisa malah menyodorkan botol berisi serbuk ajaib. “Nih, kamu pegang botolnya!”

Peri Naila terpaksa mematuhi perkataan Peri Mimisa dengan cemberut. Peri Mimisa menaburkan ramuan ke bunga, bunga pun langsung mekar. Peri Naila mematuhi perintah Peri Mimisa, menaburkan ramuan ke bunga-bunga lain, agar mekar.

“Wah indahnya!” Peri Naila terpesona dengan bunga tersebut.

Tidak disangka ada kelopak bunga jatuh dan hinggap di tangan Peri Naila. Ia pun ketakutan.

“Aaaa….!” jeritnya. Botol ramuan jatuh ke tanah. Peri Naila langsung menggaruk tangannya dengan keras.

Peri Mimisa bingung melihat Peri Naila. “Kamu kenapa?”

Peri Naila menarik tangannya hingga lepas dari Peri Mimisa. Peri Naila malah menggaruk seluruh badannya, sampai sayapnya juga, akibatnya keseimbangannya goyah dan Peri Naila terjatuh.

“Aduuuh…!” jeritnya lagi.

“Peri Naila!” Peri Mimisa mengejar Peri Naila, tapi malah tersandung hingga tersangkut di dahan pohon. Peri Mimisa tidak dapat menangkap Peri Naila.

Buk! Peri Naila jatuh.

Aduh, sakiiit!” Teriakannya membuat seluruh hutan gempar. Hewan-hewan berlarian ketakutan.

Peri Mimisa dengan rasa bersalah membawa Peri Naila ke rumah Peri Ramuan. “Maafkan aku, Peri Naila. Gara-gara aku, kamu jatuh.”

***

Setelah Peri Naila ditangani oleh Peri Ramuan, Peri Mimisa diperbolehkan melihat ke dalam kamar, tapi Peri Mimisa malah menahan tawa melihat Peri Naila. “Badan kamu kenapa?”

Sekujur badan Peri Naila penuh dengan ramuan hijau. Peri Naila yang baru siuman, kaget melihat badannya.

“Hah?! Apa ini?” Peri Naila membuang ramuan hijau di badannya.

Peri Dundun dan Peri Ramuan datang membawa secawan air ramuan.

“Ramuan daun-daunan itu obat untuk mengatasi penyakit gatalmu.”

Peri Naila menggeleng. “Aku bukan gatal biasa, gatalnya kalau terkena kelopak bunga di musim semi.”

Peri Mimisa bingung, “Kenapa nggak bilang? Tahu begitu, aku tidak akan memaksamu keluar dari rumah.”

Peri Ramuan bingung. “Apa sekarang kamu merasa gatal?”

Peri Naila menggelengkan kepala.

Peri Dundun ikutan bingung. “Padahal di ramuan itu ada kelopak bunga yang mekar di musim semi.”

“Iya, badan kamu tidak menimbulkan reaksi gatal-gatal kok.” Peri Ramuan memeriksa badan Peri Naila.

Mendengar hal itu, Peri Naila ketakutan, dan langsung gatal-gatal.

“Ahhh…! Kenapa baru bilang ada kelopak bunga musim semi di ramuan?” Peri Naila sangat heboh, dan segera menggaruk seluruh badannya. Akibatnya ramuan hijau itu menjadi berantakan dan berjatuhan.

Peri Ramuan mencoba menenangkan Peri Naila. “Coba pejamkan mata dan tarik nafas. Tenang. Tarik nafas lagi. Tenang.”

Peri Naila mengikuti perintah Peri Ramuan. Setelah beberapa kali dilakukan, Peri Naila merasa lebih baik.

“Jangan-jangan kamu cuma trauma dengan kelopak bunga. Coba diingat sejak kapan kamu merasa gatal dengan kelopak bunga musim semi?” tanya Peri Dundun.

Peri Naila mencoba mengingat. “Sejak tiga musim semi yang lalu, ada kelopak bunga berwarna emas jatuh menempel di tangan saya. Lalu tangan saya bengkak. Sejak itu saya takut dengan kelopak bunga di musim semi.”

“Apakah kelopak bunga ini?” Peri Dundun mengeluarkan kelopak bunga keemasan yang menyilaukan mata. Peri Naila ketakutan melihatnya dan langsung menggaruk badan kembali.

“Ini sebenarnya kelopak bunga langka dari Gunung Alpen. Dua musim semi lalu, mungkin tidak sengaja terjatuh saat saya membawanya untuk Ratu Peri, dan mengenai Peri Naila,” ujar Peri Ramuan lalu menambahkan, “Maaf Peri Naila, kelopak bunga ini ramuan khusus untuk Ratu Peri yang sesak nafas. Tapi bila terkena kulit sensitif, menimbulkan rasa gatal.”

Peri Mimisa mengerutkan alis, “Jadi Peri Naila gatal hanya karena trauma? Bukan karena kelopak bunga-bunga yang tumbuh di musim semi?”

“Iya, trauma membuat Peri Naila merasa semua kelopak bunga akan membuat kulitnya gatal,” kata Peri Ramuan.

”Jadi saya tidak alergi kelopak bunga musim semi?”

Peri Dundun dan Peri Ramuan menggeleng sambil tersenyum.

Peri Naila senang mendengarnya. “Berarti saya akan membantu Peri Mimisa, bertugas menyemprotkan bunga agar mekar.”

“Asyik! Akhirnya Peri Naila sembuh. Aku bisa kerja bareng sama Peri Naila lagi.” Peri Mimisa kegirangan.

Mereka tersenyum lega karena masalah Peri Naila sudah terpecahkan. (*)

-- Akhir --

Bagikan Cerita

Baca tulisan menarik lainnya

Punya Naskah Cerita Sendiri?

Kirim Naskahmu Sekarang!

Naskah-Homepage