Setelah memeluk dan mencium ibunya, Laras pamit ke sekolah.
“Hati-hati, ya!” pesan Ibu kepada Laras.
“Iya, Bu,” jawab Laras, lalu menghampiri Anggun yang sudah berdiri menunggu.
Anggun dan Laras sudah lama bersahabat. Sejak mereka duduk di kelas dua dulu. Kini, mereka telah duduk di kelas lima, dan selalu berangkat ke sekolah bersama-sama. Kemarin Laras yang menjemput Anggun. Hari ini Anggun yang menjemput Laras. Begitulah silih berganti setiap hari.
Sekolah mereka tidak jauh dari rumah. Hanya butuh waktu lima menit saja untuk sampai ke sana.
Teng … teng … teng! Lonceng sekolah berbunyi. Membangunkan Anggun dari lamunannya.
“Bel masuk, ya, Ras?” tanya Anggun ragu, setelah mereka berada di dalam kelas.
Laras yang sudah mulai menyiapkan bukunya merasa heran mendengar pertanyaan Anggun. “Bukan, kayaknya bel pulang, deh,” canda Laras.
Anggun hanya tersenyum mendengar jawaban sahabatnya itu. Rupanya dia telah melamun.
***
“Selamat pagi, Anak-Anak!” Bu Yanti masuk ke dalam kelas. Beliau adalah wali kelas lima.
“Selamat pagi, Bu!” jawab anak-anak serempak.
Sejenak Bu Yanti memandang anak-anak yang sudah duduk dengan rapi di bangkunya masing-masing.
“Hanan!” Bu Yanti mulai mengabsen anak-anak.
“Hadir, Bu.”
“Anggun!”
Anggun kembali terbangun dari lamunannya. Dia segera mengacungkan telunjuknya. “Hadir Bu!”
Selesai mengabsen, Bu Yanti memulai pelajaran. Akan tetapi, tiba-tiba…
Bruk!
Lagi-lagi Anggun tersadar dari lamunannya. Buku yang sedang dipegangnya terjatuh.
“Ada apa, Anggun?” tanya Bu Yanti lembut.
“Eng … enggak ada apa-apa, Bu. Ini buku Anggun jatuh,” jawab Anggun terlihat gugup dan terbata. Laras yang melihat gelagat aneh pada diri Anggun mulai merasa curiga. Ada apa dengan Anggun? Tidak seperti biasanya.
“Anggun, kamu ini kenapa, sih? Sakit, ya?” tanya Laras penuh perhatian.
“Enggak kok, aku enggak apa-apa.”
“Kalau sakit, biar aku mintain izin ke Bu Yanti. Nanti aku antar kamu pulang.”
Anggun segera menggelengkan kepalanya. “Jangan, aku enggak apa-apa. Bener! Aku sehat, kok,” tolak Anggun.
“Atau,” kejar Laras. “Apa kamu punya masalah?”
Lagi-lagi Anggun menggelengkan kepalanya. Laras hanya bisa menghela napas panjang.
Tanpa terasa waktu terus bergulir dan bel istirahat pun terdengar sudah. Setelah pelajaran ditutup sementara oleh Bu Yanti, anak-anak berhamburan ke luar kelas.
“Anggun, kita ke kantin yuk!” ajak Laras.
“Enggak ah, aku di sini saja.”
“Nanti aku traktir, deh,” rayu Laras, tetapi Anggun tetap menolak. Dia bersikeras tidak mau keluar kelas. Akhirnya Laras mengalah dan pergi ke kantin bersama teman-temannya yang lain.
Anggun menghabiskan waktu istirahatnya hanya di dalam kelas. Tampak sesosok wanita yang sedang memeluk seorang anak selesai Anggun gambar. Mata Anggun mulai berkaca-kaca menatap gambar tersebut. Hatinya dipenuhi rasa rindu yang dalam. Tanpa disadarinya, air matanya mulai jatuh membasahi pipi. Segera diusap dengan tangannya.
Anggun tak mau kalau teman-temannya tahu dia menangis. Apalagi Laras. Anggun segera memasukan gambar itu ke dalam tasnya ketika bel masuk terdengar. Anak-anak kembali ke bangkunya masing-masing. Siap dengan buku pelajarannya kembali.
Usai sekolah, Anggun bergegas pulang. Setibanya di rumah, dia mengeluarkan gambar yang dibuatnya di sekolah tadi. Kemudian, ditempel di dinding kamarnya. Anggun terus memandangi gambar tersebut dalam-dalam.
“Neng, makan siangnya sudah siap.” Terdengar suara Bi Inah.
“Nanti aja, Bi. Anggun masih capek,” kata Anggun sambil berbaring di tempat tidurnya. Tak lama kemudian Anggun pun tertidur tanpa makan siang.
Sore harinya, Ayah membangunkan Anggun. “Anggun bangun! Kata Bi Inah kamu belum makan sejak pulang sekolah tadi.”
“Ayah sudah pulang?” kata Anggun sambil menggosok-gosok matanya.
“Kamu ini kenapa, sih?” tanya Ayah sambil membelai rambut Anggun yang panjang.
“Enggak kenapa-kenapa,” jawab Anggun sambil melirik gambar yang ditempelnya tadi.
“Kalau ada masalah, coba ceritakan sama Ayah. Siapa tahu Ayah bisa membantu. Ayah akan selalu berusaha melakukan yang terbaik buat kamu,” kata Ayah bijak.
Mata Anggun kembali berkaca-kaca. Bibirnya terlihat bergetar seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia ragu. Air matanya tak tertahankan lagi. Mengalir ke pipinya.
“Anggun rindu Mama.” Anggun menangis tersedu-sedu dipelukan Ayah. Ayah menarik napas panjang. Dipeluknya erat-erat anak kesayangannya itu. Diciumnya kepala Anggun berkali-kali.
“Ayah juga rindu Mama, tapi apa yang dapat kita lakukan? Semuanya kehendak Tuhan.”
Tangisan Anggun semakin menjadi. Saat Anggun kelas satu Mama meninggal karena serangan jantung. Sejak itu Anggun diasuh oleh neneknya, barulah ketika Anggun kelas tiga, ia tinggal bersama ayahnya.
“Ada telepon buat Neng Anggun!” seru Bi Inah memecah suasana haru.
“Dari siapa, Bi?” tanya Ayah.
“Dari Neng Laras, Pak.”
Anggun menghentikan tangisannya, lalu menerima telepon dari Laras. “Halo,” kata Anggun pelan.
“Anggun, ini Laras. Kamu enggak apa-apa, kan? Aku khawatir sekali kalau-kalau kamu sakit. Abis enggak kayak biasanya, sih. Memang ada apa, sih, Gun? Cerita dong ke aku,” berondong Laras. “Anggun! Kamu masih di situ, kan?”
Sesaat Anggun terdiam.
“Iya. Aku lagi sedih, Ras.” Anggun mulai berkata.
“Sedih kenapa?” tanya Laras penasaran.
“Aku rindu mamaku, Ras. Setiap aku melihat kamu dipeluk dan dicium oleh ibu kamu, aku selalu merasa iri. Aku juga ingin dipeluk Mama, tapi mamaku sudah lama meninggal.” Anggun kembali menangis.
“Anggun, sabar ya,” kata Laras menguatkan.
“Aku sering berhayal bisa pergi ke surga untuk bertemu mamaku dan memeluknya erat sekali,” sambung Anggun sesenggukan.
“Anggun, kamu adalah sahabatku, bahkan kamu sudah aku anggap saudaraku sendiri. Jadi, ibuku adalah ibumu juga. Kamu boleh memeluk ibuku seperti aku memeluknya. Kamu boleh dipeluk ibuku seperti ibuku memeluk aku.”
“Benar, Ras?” Anggun terdengar gembira.
“Iya. Oke deh, kalau begitu besok jemput aku lagi, ya.”
Keesokan harinya. Pagi-pagi sekali Anggun sudah sangat rapi dengan seragam sekolahnya. Rambutnya yang panjang diikatnya ke belakang. Selesai sarapan, Anggun langsung pamitan pada Ayah.
“Aduh buru-buru amat, ada apa, nih?” goda Ayah.
Anggun tersenyum. “Mau bertemu Mama,” katanya sambil berlari ke luar rumah.
Dahi Ayah berkerut. “Bertemu Mama?”
***
Sesampainya di rumah Laras. Anggun disambut oleh Laras dan ibunya. Ibu Laras langsung memeluk Anggun dengan penuh kasih sayang. Betapa bahagianya Anggun dengan pelukan itu. Begitu hangat dan indahnya pelukan seorang ibu. Laras pun ikut dipeluk Ibu. Laras dan Anggun merasa sebagai anak yang paling berbahagia pada hari itu. (Tamat)
Lian Kagura sejak kecil sudah menyukai dunia tulis-menulis. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, essai, novel telah dipublikasikan di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Sampai saat ini telah menulis lebih dari 20 buku baik solo maupun antologi. Selama lebih dari 15 tahun menjadi praktisi perbukuan, baik sebagai editor, grafis desainer, maupun sebagai e-book converter. Sekarang bekerja sebagai penulis lepas, dan guru menulis bagi anak-anak SD dan SMP.


