Frame 117

Pejuang Kecil

By Nada Nisrina

Langit menampakkan warna alaminya, kota Gaza terlihat indah dengan pesona di pagi hari ini. Husein menenteng tas, hendak berangkat sekolah ketika orang tuanya berpesan kepadanya agar berhati-hati di jalan. Suasana hati Husein sedang diliputi rasa bahagia karena kemarin ia baru saja mendapatkan tas baru. Tas lamanya sudah lama tidak diganti, sudah robek sana sini, alhamdulillah ada dermawan yang mau membagi-bagikan tas dan buku pada anak-anak seusianya.

Di tengah jalan, ia melihat kesibukan orang-orang. Dilewatinya Rumah Sakit Indonesia, dan melihatnya penuh kekaguman. Angannya melayang, kemudian ia berguman. “Suatu saat aku akan menjadi dokter di rumah sakit ini.”

Setelah beberapa menit berjalan kaki, Husein sampai di sekolah. Sekolah yang ala kadarnya, tidak terlalu besar, dan dindingnya penuh dengan bekas terbakar. Ia masuk ke dalam kelas yang sudah ramai oleh teman-temannya. Kemudian duduk di bangku sambil menunggu gurunya datang.

“Assalamualaikum semuanya. Bagaimana kabar kalian hari ini?” guru mereka masuk. Dia adalah perempuan cantik, tidak tinggi dan tidak pendek, berhidung mancung dan masih sangat muda.

“Waalaikum salam Bu Nuroo. Kabar kami baik.” Jawab anak-anak seraya membuka buku. Mereka hanya menggunakan satu buku untuk semua bidang ilmu.

“Baiklah, sebelum dimulai, ada yang ingin Ibu tanyakan terlebih dahulu. Cita-cita kalian saat besar nanti apa?” tanya Bu Nuroo di depan kelas.

Ali mengangkat tangannya. “Saya ingin menjadi tentara, Bu. Melawan para Yahudi yang kejam!” seru Ali penuh semangat.

“Wah, hebat Ali. Semangat mujahidmu sangat menggebu-gebu,” puji Ibu guru. “Ada lagi yang lain?”

“Saya ingin menjadi dokter Bu! Menolong orang yang terluka.” Husein menyampaikan keinginannya.

“Itu bagus Husein. Semoga cita-citamu bisa tercapai ya.” Puji Bu Nuroo. Beliau merasa bangga karena murid-muridnya memiliki harapan yang tinggi, yang mendorong mereka untuk terus berjuang dan belajar.

“Baiklah, sekarang mari kita lanjutkan pembelajaran. Buka buku tulis kalian, kita akan mencatat sebentar,” kata Bu Nuroo di depan kelas. Semuanya langsung menurut, tanpa waktu lama mereka sudah siap menulis dengan bukunya masing-masing.

***

Di langit yang gelap saat ia terbaring, malam Senin yang kelabu. Ibu Husein sudah berpesan agar dia segera tidur, agar besok bisa berangkat sekolah tepat waktu. Husein pun menurut. Husein dan ibunya hanya hidup berdua, Ayahnya sudah syahid dalam pengeboman Israel satu tahun lalu.

Saat semua orang sedang tidur, jam satu malam, terjadi sesuatu. Rudal diluncurkan oleh tentara zionis Israel, ke kota tempat Husein tinggal.

“Ibu… bangun!” Husein dengan panik membangunkan ibunya.

“Ayo lari Nak, kalau tidak, kamu akan mati di sini!” seru seorang pria yang melihat Husein masih diam mematung di rumahnya.

Rumah Husein masih berdiri, tapi bangunan di sekitarnya sudah banyak yang runtuh. Listrik dipadamkan. Saat gelap malam seperti ini, susah untuk melihat dalam gelap. Entah bagaimana, pria tadi mampu melihat Husein di dalam rumah, yang jendelanya pecah.

“Tapi… ibuku…” dia menatap sedih ibunya. Ada bom melayang ke rumah Husein.

“Ayo, Nak, lari!!” Seru pria itu sambil menggendong tubuh Husein yang kecil.

“Ibuuu!!”

Tiba-tiba, ada timah panas yang menembus tubuh pria yang menggendong Husein. Husein terjatuh, dan pria itu tumbang seketika. Ada sekelompok orang yang mendekat. Rupanya, itu para zionis Israel. Mereka menginjak tubuh orang yang menyelamatkan Husein.

“Pergilah pengecut!” seru Husein dengan penuh kemarahan. Dia marah karena mereka telah membunuh ibunya, menginjak tubuh orang yang menyelamatkannya. Entah siapa itu, tapi Husein yakin dia orang baik.

“Berani sekali anak ini. Tembak saja dia!” seru salah satu tentara. Dia pun menodongkan moncong senjatanya ke arah Husein yang sudah pasrah.

“Hentikan!” teriak seseorang dengan berani. Menghentikan tindakan kejam yang akan dilakukan pada Husein. Itu suara perempuan.

“Ibu Nuroo!” Husein kaget melihat kedatangan gurunya itu.

“Cepat lari Husein!” Bu Nuroo langsung berteriak.

Tentara zionis itu mengejar dan menangkap Ibu Nuroo. Dia berusaha melawan.

Husein segera lari. Masih ada harapan baginya untuk terus hidup. Ia harus hidup demi tercapai cita-citanya. Agar Ibu Nuroo bangga padanya. Supaya Ibu dan ayahnya kagum terhadapnya.

Husein berlari secepat kilat, sambil berusaha menghindari serangan senjata. Dia rasa, Ibu Nuroo sudah syahid di belakang sana, atau mungkin tentara Israel melakukan hal yang sangat keji. Husein tak ingin memikirkannya.

Husein sudah melupakan cita-citanya untuk menjadi dokter. Hidupnya mungkin tak lama lagi. Dia pasrah. Teman sepermainannya di sekolah sekarang juga sedang berjuang, atau mungkin ada yang sudah… ah, jangan pikirkan dulu!

Tiba-tiba… Dor!

Sebuah peluru menembus tubuh mungil Husein. Dia terjatuh, meraung kesakitan di antara bangunan roboh. Lalu terdengar suara sangat keras. Sebuah bom menghancurkan bangunan dan reruntuhannya menimpa Husein.

“Ayah… Ibu… Bu Nuroo…! ” gumam Husein kesakitan. Dia berusaha mengingat orang-orang yang mencintai dan sangat dicintainya.

Husein melihat sayup-sayup seorang anak yang berlari ke arahnya. Mungkin dia sedang menghindari kejaran dan tembakan Israel.

“Pergilah dari tanah air kami! Kalian adalah pengecut!” seru anak itu.

Husein mengenalnya. Ya, itu suara Asna, teman sekolahnya.

Suara tembakan terdengar, menghujani tubuh Asna yang mungil. Tubuhnya jatuh di samping Husein. Husein tak tahan lagi, dia sudah sangat kesakitan. Dia mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah, bersamaan dengan Asna. Keduanya syahid bersama.

Di hari yang bersamaan dengan kepergian guru dan keluarga mereka. Meski cita-cita mereka belum tercapai, tapi setidaknya mereka telah meraih tujuan besar, yakni gugur di jalan Allah. Hal yang sangat diimpikan semua muslim di dunia ini. (Tamat)

 

Nada Nisrina, lahir tanggal 4 Februari 2012. Tinggal Perum Graha Jati Indah,  Karanganyar. Nada duduk di kelas VI SDIT Insan Kamil Karanganyar.

-- Akhir --

Bagikan Cerita

Baca tulisan menarik lainnya

Punya Naskah Cerita Sendiri?

Kirim Naskahmu Sekarang!

Naskah-Homepage