Frame 117

Nabi Ismail

By Kakak Pengasuh

Nabi Ismail adalah anak dari Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim memiliki dua istri yang bernama Sarah dan Hajar. Dari istrinya Hajar, Nabi Ibrahim dikaruniai seorang anak laki-laki yang sangat lucu dan tampan bernama Ismail.

Nabi Ibrahim hidup bahagia bersama keluarganya di Kana’an (Palestina). Ia memiliki banyak harta, hewan ternak yang gemuk-gemuk, dan rumah yang nyaman. Namun, suatu hari, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk memindahkan Hajar dan bayi Ismail ke tempat yang jauh, sebuah lembah gersang yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Tidak ada rumah, tidak ada air.

Walau berat hatinya, Nabi Ibrahim mengikuti perintah Allah. Ia menaikkan Hajar dan Ismail ke atas unta dan berjalan jauh menembus lautan pasir, melewati gurun yang panas, hingga akhirnya sampai di lembah yang sekarang bernama Mekah.

“Di sinikah kami akan tinggal?” tanya Hajar, sambil menatap tanah yang tandus dan kering.

Nabi Ibrahim mengangguk. “Ini adalah tempat yang dipilih Allah.”

Dengan menahan air mata, Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan bayinya di sana hanya dengan sedikit bekal makanan dan air. Hajar menangis, namun ia tahu, ini adalah perintah dari Allah. Ia memeluk bayi Ismail dan berkata pelan, “Allah pasti akan menjaga kita.”

Sambil menuruni bukit, Nabi Ibrahim pun tak kuasa menahan tangis. Ia berdoa dengan sungguh-sungguh, “Ya Allah, aku telah meninggalkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak memiliki tanaman, dekat rumah-Mu yang suci. Ya Allah, berilah mereka rezeki dari buah-buahan dan jadikan hati manusia mencintai mereka.”

Hari demi hari berlalu. Bekal makanan habis. Air pun kering. Ismail kecil mulai menangis kehausan. Hajar panik. Ia tidak tahu harus bagaimana.

Dengan penuh semangat, Hajar berlari ke Bukit Shafa, berharap bisa melihat sesuatu. Ia menduga ada air di kejauhan, tapi ternyata hanya fatamorgana, bayangan air yang muncul karena panas matahari.

Dari Shafa, ia melihat sesuatu di Bukit Marwah. Hajar pun berlari ke sana. Tapi lagi-lagi, hanya bayangan. Ia tak menyerah. Ia kembali ke Shafa. Lalu ke Marwah lagi. Ia terus berlari tujuh kali bolak-balik, sampai kelelahan. Tapi ia tidak berhenti berusaha, karena ia ingin menyelamatkan putranya.

Ketika Hajar duduk lemas dan hampir putus asa, tiba-tiba ia melihat mata air memancar dari kaki Ismail yang menghentak tanah sambil menangis.

Air itu tidak biasa. Air itu sangat jernih, sangat sejuk, dan tidak pernah habis. Hajar langsung bersyukur pada Allah, ia menampung air itu sambil berkata, “Zam-zam! Zam-zam!” yang artinya, “Berkumpullah, berkumpullah!”

Air itu sekarang dikenal dengan air Zamzam, yang sampai sekarang masih mengalir dan diminum oleh jutaan orang setiap tahun saat beribadah haji.

Tahun-tahun pun berlalu. Ismail tumbuh menjadi remaja yang kuat dan taat kepada Allah, seperti ayahnya. Nabi Ibrahim sering mengunjungi putra dan istrinya di Mekah. Suatu malam, Nabi Ibrahim bermimpi bahwa Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail.

Karena mimpi seorang nabi adalah wahyu dari Allah, maka Nabi Ibrahim tahu ia harus melakukannya. Walau sedih, ia menemui Ismail dan berkata, “Wahai anakku, aku bermimpi bahwa aku harus menyembelihmu atas perintah Allah. Apa pendapatmu?”

Ismail, anak yang sangat patuh, menjawab dengan tenang, “Wahai Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah. Engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

Betapa hebatnya Ismail! Ia tidak takut, ia percaya bahwa Allah punya rencana yang baik. Lalu Nabi Ibrahim menutup mata Ismail dengan kain. Ia baringkan Ismail dengan lembut. Hatinya sngat sedih, apalagi Ismail adalah anak yang sudah lama ia nantikan. Ia lalu mengangkat pisau hingga tajam.

Tapi apa yang terjadi?

Pisau itu tidak bisa melukai Ismail sama sekali! Pisau itu menjadi tumpul! Allah telah membuat pisau itu tidak mempan!

Tiba-tiba terdengar suara dari langit, “Wahai Ibrahim, engkau telah membuktikan ketaatanmu. Engkau tidak perlu menyembelih anakmu.”

Lalu Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba besar, dan Nabi Ibrahim menyembelih domba itu sebagai pengorbanan. Inilah awal mula ibadah kurban yang dilakukan umat Islam setiap Hari Raya Idul Adha.

Setelah kejadian itu, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail kembali bersatu membangun Ka’bah, rumah Allah yang suci, di tengah kota Mekah. Batu demi batu mereka susun. Ketika dinding Ka’bah mulai tinggi, Nabi Ismail mengangkat sebuah batu besar agar ayahnya bisa berdiri lebih tinggi. Batu itu sekarang dikenal dengan nama Maqam Ibrahim.

Saat pembangunan selesai, mereka berdoa, “Ya Allah, terimalah amal kami. Jadikanlah kami orang yang tunduk kepada-Mu.”

Kini, setiap tahun jutaan orang dari seluruh dunia datang ke kota Mekah. Mereka minum air Zamzam, berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah, berdoa di Ka’bah, dan menyembelih hewan kurban, mengingat kisah luar biasa Nabi Ibrahim, Hajar, dan Ismail.

Dari kisah ini, kita belajar bahwa:

  • Kita harus percaya kepada Allah, walau dalam keadaan sulit.

  • Kita harus berusaha, seperti Hajar yang berlari tujuh kali tanpa menyerah.

  • Kita harus patuh kepada orang tua, seperti Ismail yang tidak membantah ayahnya.

  • Dan kita harus berkorban dan bersabar, karena Allah selalu punya rencana yang lebih baik.

Ayo kita menjadi anak yang taat seperti Nabi Ismail dan sabar seperti Siti Hajar! (Tamat)

-- Akhir --

Bagikan Cerita

Baca tulisan menarik lainnya

Punya Naskah Cerita Sendiri?

Kirim Naskahmu Sekarang!

Naskah-Homepage