Nabi Ibrahim ‘alaihissalam lahir di Babilonia. Ia tumbuh dalam keluarga yang menyembah berhala. Ayahnya, Azar, adalah pembuat patung. Setiap hari, Azar mengukir batu dan kayu menjadi patung-patung yang dipercaya bisa memberi rezeki, menyembuhkan penyakit, atau melindungi dari marabahaya.
Tapi Ibrahim kecil berbeda. Sejak kecil, hatinya sering bertanya.
Mengapa patung ini tidak bisa bicara?
Mengapa orang-orang menyembah benda buatan sendiri?
Di mana Tuhan yang sebenarnya?
Saat teman-temannya bermain di sekitar kuil, Ibrahim duduk termenung memandangi langit. Ia menyaksikan matahari terbit, bulan bersinar, dan bintang bertaburan. Suatu malam, ia berkata, sambil menatap bintang yang bercahaya, “Inikah Tuhanku?”
Tapi saat fajar menyingsing dan bintang itu lenyap, Ibrahim menggeleng. “Tidak mungkin Tuhan menghilang.”
Hari demi hari, Ibrahim mencari Tuhan sejati. Ia tahu, Tuhan pasti tidak seperti patung-patung batu itu. Tuhan pasti Maha Kuasa, tidak dibuat oleh manusia, tidak lemah, dan selalu ada.
Suatu hari, Ibrahim berkata kepada ayahnya dengan lembut, “Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak bisa menolongmu?”
Ayahnya marah besar. “Diam kau, Ibrahim! Kalau kau tidak berhenti bicara seperti itu, aku akan mengusirmu dari rumah!”
Hati Ibrahim sedih, tapi ia tetap bersabar. Ia tahu, kebenaran memang kadang menyakitkan, tapi ia yakin Allah melihat usahanya.
Menghancurkan Patung-Patung
Suatu hari, saat semua orang pergi ke perayaan besar, Ibrahim memanfaatkan waktu itu untuk mendatangi kuil tempat berhala-berhala disembah. Ia membawa kapaknya, lalu menghancurkan semua patung kecil, satu per satu. Namun, satu patung yang paling besar, ia biarkan utuh. Bahkan ia menggantungkan kapaknya di leher patung besar itu.
Ketika penduduk kembali dan melihat patung-patung mereka hancur, mereka marah sekali. Mereka bertanya-tanya, siapa pelakunya?
“Ada yang melihat Ibrahim tadi datang ke kuil,” kata seseorang.
Ibrahim pun dipanggil.
Mereka bertanya, “Wahai Ibrahim, apakah engkau yang menghancurkan patung-patung kami?”
Dengan tenang, Ibrahim menjawab, “Mengapa kalian tidak tanya saja pada patung yang besar itu? Bukankah kapak ada di lehernya?”
Orang-orang terdiam. Mereka sadar, patung itu tidak bisa berbicara. Tapi karena keras kepala, mereka tidak mau mengakui kebenaran. Mereka berkata, “Bakar saja Ibrahim!”
Mereka menumpuk kayu sebanyak-banyaknya hingga membentuk api yang sangat besar. Mereka melemparkan Ibrahim ke dalamnya dengan alat khusus, karena panasnya api itu bahkan tidak bisa didekati manusia biasa.
Namun, Allah Maha Kuasa. Allah berfirman kepada api: Hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim! (QS Al-Anbiya: 69)
Api yang sangat panas itu tiba-tiba menjadi sejuk, seperti taman yang indah. Ibrahim berdiri di tengahnya tanpa luka sedikit pun. Orang-orang terheran-heran. Tapi hati mereka tetap tertutup dari kebenaran.
Nabi Ibrahim dan Burung yang Hidup Kembali
Untuk menambah keyakinan hatinya, suatu hari Ibrahim berdoa kepada Allah, “Wahai Tuhanku, tunjukkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang yang mati.”
Allah menjawab: Tidakkah engkau beriman?
Ibrahim berkata, “Aku beriman, tapi aku ingin hatiku tenang.”
Maka Allah menyuruh Ibrahim menangkap empat ekor burung, lalu menyembelih dan mencampurkan tubuh-tubuhnya. Setelah itu, bagian-bagian tubuh itu diletakkan di atas bukit-bukit yang berbeda.
Allah berfirman: Panggillah mereka, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan cepat.
Ibrahim pun memanggil, dan keempat burung itu hidup kembali, terbang ke arahnya dalam keadaan utuh. Ibrahim pun makin yakin dan kagum kepada kekuasaan Allah.
Kelahiran Ismail, dan Pengorbanan Hajar
Tahun demi tahun berlalu. Ibrahim telah menikah dengan wanita shalihah bernama Sarah, tetapi mereka belum juga memiliki anak. Akhirnya, atas izin Allah, Ibrahim menikah dengan seorang wanita bernama Hajar, dan dari pernikahan itu lahirlah seorang bayi laki-laki yang sangat manis bernama Ismail.
Ibrahim sangat bahagia. Tapi kebahagiaan itu hanya sebentar. Allah memerintahkannya untuk membawa Hajar dan bayi Ismail ke sebuah tempat sunyi bernama Mekah, yang saat itu masih berupa padang pasir kosong. Dengan hati berat, Ibrahim menuruti perintah Allah. Ia meninggalkan Hajar dan Ismail dengan sedikit bekal air dan kurma.
Saat Hajar menyadari bahwa suaminya akan pergi meninggalkan mereka, ia bertanya, “Wahai Ibrahim, apakah ini perintah dari Allah?”
Ibrahim mengangguk.
Maka Hajar berkata, “Kalau begitu, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Saat air minum habis, Ismail menangis kehausan. Hajar berlari-lari dari bukit Shafa ke Marwah sebanyak tujuh kali, mencari air. Tapi tak juga ditemukan.
Lalu, Allah menunjukkan keajaiban. Dari dekat kaki Ismail yang menangis, tiba-tiba muncul air yang memancar dari dalam tanah. Air itu terus mengalir dan tak pernah habis. Air itu kini dikenal dengan nama air Zamzam.
Perintah Menyembelih Ismail
Beberapa tahun kemudian, ketika Ismail tumbuh menjadi anak yang saleh dan patuh, Allah menguji Nabi Ibrahim dengan ujian yang sangat besar. Suatu malam, Ibrahim bermimpi diperintahkan untuk menyembelih Ismail. Ini bukan mimpi biasa, karena mimpi para nabi adalah wahyu dari Allah.
Dengan hati yang bergetar, Ibrahim mendatangi Ismail dan berkata, “Wahai anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku harus menyembelihmu. Bagaimana menurutmu?”
Ismail, dengan iman yang kokoh, menjawab, “Wahai ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, aku akan sabar.”
Betapa luar biasa anak itu. Dan betapa besar cinta Ibrahim kepada Allah. Ibrahim lalu membawa Ismail ke tempat sepi. Ia menutup mata anaknya dengan kain. Namun saat hendak menyembelih, pisau itu tidak mempan. Allah menahan pisau itu agar tak melukai Ismail.
Kemudian Allah memanggil, “Wahai Ibrahim, engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh ini adalah ujian yang nyata!”
Lalu Allah mengganti Ismail dengan seekor domba besar dari surga, yang disembelih sebagai gantinya. Peristiwa inilah yang menjadi asal mula perayaan Idul Adha bagi umat Islam di seluruh dunia.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah contoh manusia yang penuh iman, lembut hatinya, dan patuh kepada Allah. Ia tidak pernah menyerah mencari kebenaran. Ia sabar menghadapi orang-orang yang menentangnya. Ia patuh walau harus berpisah dengan anak dan istri. Ia bahkan rela mengorbankan putra tercinta demi taat kepada Allah.
Itulah sebabnya, Nabi Ibrahim mendapat gelar Khalilullah, artinya Kekasih Allah. (Tamat)


