Frame 117

Malin Kundang

By Redaksi

Dahulu kala, seorang janda tinggal bersama putranya di desa Pantai Air Manis di Padang, Sumatera Barat. Nama wanita itu adalah Mandeh Rubiyah dan putranya adalah Malin Kundang. Sejak kecil, Malin Kundang ditelantarkan oleh ayahnya. Malin Kundang pun punya keinginan merantau untuk mengubah nasib.

Ketika Malin Kundang beranjak dewasa, sebuah kapal besar berlabuh di Pantai Air Manis. Kedatangan kapal tersebut menguatkan hatinya untuk merantau.

“Bu, aku ingin mencari pekerjaan, jalan-jalan ke negeri lain,” kata Malin pelan. “Kapal besar hanya sesekali berlabuh di pantai ini. Aku ingin mencari pekerjaan agar nasib kita bisa berubah. Aku lelah dengan kemiskinan.”

Meski enggan, Mandeh Rubiyah akhirnya melepaskan anaknya. Hari, bulan, dan tahun berlalu, Malin Kundang meninggalkan desa tanpa pernah memberi kabar ibunya.

Suatu hari sebuah kapal besar berlabuh di lepas Pantai Air Manis. Melihat hal itu, Mandeh Rubiyah pun menyongsong kapal tersebut, berharap Malin Kundang pulang menumpang kapal tersebut.

Mandeh Rubiyah memperhatikan setiap orang yang turun dari kapal. Hingga kemudian ia melihat seorang pemuda gagah dengan baju bagus melangkah turun. Ia sangat yakin bahwa pemuda itu adalah Malin Kundang, anak yang snagat dirindukannya.

Tanpa rasa malu, ia langsung memburu dan memeluk Malin Kundang dengan erat seolah takut kehilangan anaknya lagi. Ia menyapa Malin dengan suara serak, menahan air mata kebahagiaan.

“Malin, anakku! Kenapa lama sekali kau meninggalkan Ibu? Kenapa tidak pernah mengirim kabar pada Ibu?” Perempuan tua itu menangis haru.

Pemuda yang tak lain memang Malin Kundang itu tertegun karena tidak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Sebelum dia bisa berpikir, istrinya yang cantik datang mendekat.

“Apakah wanita ini ibumu? Mengapa kamu berbohong padaku?” Perempuan cantik berpakaian sutra itu menoleh pada Mandeh Rubiyah. “Bukankah kamu bilang ibumu orang terpandang?”

Setelah Malin Kundang mendengar perkataan istrinya, ia mendorong wanita tua itu hingga jatuh di atas pasir.

Mandeh Rubiyah berkata lagi sambil berusaha bangkit, “Malin, anakku. Aku ibumu, Nak!”

Malin Kundang mengabaikan perkataan ibunya.

“Hei, wanita tua! Ibuku tidak seperti kamu! Kamu terlihat sangat miskin dan kotor!” seru Malin Kundang sambil menolak Mandeh Rubiyah yang berusaha mendekatinya.

Malin Kundang tidak mau berlama-lama di pantai tersebut. Ia segera mengajak anak buah kapalnya untuk kembali berlayar. Malin Kundang yang sudah berhasil di perantauan dan mendapat istri anak orang terpandang, merasa malu mengakui ibunya yang miskin dan berpenampilan lusuh.

“Malin, aku ibumu, Nak!” seru Mandeh Rubiyah lagi.

Malin Kundang memandang dari kejauhan dengan raut sombong. Ia tidak mau istrinya tahu kalau perempuan tua itu adalah ibu kandungnya. Ia malu dan takut istrinya akan mengejek ibunya. Apalagi Malin Kundang sudah terlanjur mengatakan bahwa ia juga dari keluarga terpandang.

Mandeh Rubiyah memandang kepergian kapal Malin Kundang dengan berurai air mata. Hatinya sakit seperti ditusuk-tusuk. Anak yang sudah ia kandung Sembilan bulan, ia lahirkan dnegan taruhan nyawa, tak mau mengakuinya. Anak yang sudah bertahun-tahun ditunggu kepulangannya, kini menolaknya.

Dengan hati hancur, Mandeh Rubiyah mengangkat tangan ke langit. Kemudian dia berseru, “Ya Allah, jika dia bukan anakku, aku akan memaafkan perbuatannya. Tetapi jika benar dia adalah anakku Malin Kundang, aku mohon keadilanmu!”

Tak lama kemudian, di tengah laut yang sedang cerah, tiba-tiba cuaca berubah menjadi gelap. Entah bagaimana, tiba-tiba badai besar menerjang kapal Malin Kundang. Kapal itu langsung pecah berkeping-keping. Penumpangnya tak satu pun yang selamat. Lalu ombak besar menghalau kepingan kapal tersebut ke arah pantai.

Keesokan harinya, penduduk di sekitar pantai heran melihat sisa-sisa kapal yang berubah menjadi batu. Tak jauh dari tempat itu terlihat sebuah batu yang menyerupai tubuh manusia dalam posisi bersujud. Konon, itulah jenazah Malin Kundang, anak durhaka yang menjadi batu karena kutukan ibunya. (Tamat)

(Ditulis ulang oleh Kak Novia Syahidah)

.

-- Akhir --

Bagikan Cerita

Baca tulisan menarik lainnya

Punya Naskah Cerita Sendiri?

Kirim Naskahmu Sekarang!

Naskah-Homepage