Bebe adalah seekor lebah muda yang cerdas dan jujur. Bebe bersama kawanan lebah hidup aman dan sentosa di Hutan Hijau yang kaya sumber daya.
Bebe dan kawanan lebah sekali-sekali perlu pergi ke Pasar Kampung Kuning. Selain untuk menjual komoditas yang mereka hasilkan, mereka juga butuh membeli barang lain.
Akhir pekan itu, Bebe dan kawanan lebah akan berangkat ke Pasar Kampung Kuning. Setelah sarapan, Bebe dan kawanan lebah bergotong royong menggotong karung yang berisi berbotol-botol madu murni. Mereka akan menukarkan madu kualitas tinggi itu dengan kain, susu atau bahan makanan lain.
Sesampainya di Pasar Kampung Kuning, Bebe dan kawanan lebah langsung menuju kios Nyonya Sipi. Bebe dan kawanan lebah biasa berbarter madu asli dengan susu murni.
Tidak seperti biasanya, hari itu proses barter berlangsung alot. Usut punya usut Nyonya Sipi mempertanyakan tentang kualitas dan kuantitas madu yang dibawa oleh Bebe dan kawanan lebah.
Perselisihan sengit itu kemudian secara otomatis mengundang perhatian hewan-hewan lainnya. Makanya dalam waktu sekejap, terciptalah kerumunan padat di depan kios Nyonya Sipi.
“Apa kalian lebah-lebah muda yang berasal dari hutan hendak mencurangiku yang sudah punya pengalaman berniaga bertahun-tahun?” ketus Nyonya Sipi.
“Apa yang Nyonya Sipi maksud dengan mencurangi?” tanya Bebe mewakili kawanannya.
“Sungguh Nyonya Sipi, tidak sekalipun terbesit niat kami untuk berbuat kecurangan,” imbuh Bebe dengan nada sopan.
“Baiklah. Aku akan langsung menuju ke pokok persoalan,” balas Nyonya Sipi, sinis.
“Jadi selama hampir setengah tahun ini, kita melakukan perjanjian barter. Satu liter susu ditukar dengan satu liter madu. Namun makin ke sini, aku curiga kalau madu kalian tidak ada satu liter.”
Bebe tersentak oleh tuduhan Nyonya Sipi yang sama sekali tidak berdasar. “Hah? Jadi … maksud Nyonya…..”
“Coba kalian jawab jujur. Apakah kalian punya gelas ukur atau alat pengukur lain?” potong Nyonya Sipi.
“Tidak, kami tidak punya gelas ukur atau alat semacam itu. Tapi…..” Belum selesai Bebe menjelaskan, Nyonya Sipi sudah kembali memotong.
”Baiklah. Kemarin aku baru saja membeli gelas ukur baru. Jadi mari kita ukur dan buktikan bersama-sama,” ucap Nyonya Sipi, percaya diri.
Nyonya Sipi mengeluarkan gelas ukur yang konon baru dibelinya dari kota. Dengan ekspresi angkuh, Nyonya Sipi kemudian menuangkan madu dari botol ke dalam gelas ukur tersebut.
“Lihat! Madu kalian tidak ada satu liter. Berarti selama ini kalian telah curang!” seru Nyonya Sipi, lantang.
Serta merta, kerumunan hewan yang menonton bersorak-sorai. Bahkan ada beberapa hewan yang langsung melemparkan hujatan kepada Bebe dan kawanan lebah.
“Huu … lebah penipu!”
Bebe menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Dengan bijaksana ia kemudian berkata, “Baiklah, Nyonya. Berdasarkan gelas ukur ini, madu kami memang tidak ada satu liter. Kami meminta maaf untuk kesalahan ini. Sungguh, kami tidak pernah bermaksud berbuat curang.”
“Hu … alasan!” sorak-sorai dari kerumunan hewan yang menonton kembali membahana. Situasi itu membuat Nyonya Sipi merasa di atas angin.
“Namun Nyonya Sipi! Sejak awal kami sadar bahwa kami tidak memiliki gelas ukur. Sebab itu kami kemudian berinisiatif menggunakan botol bekas susu yang kami dapatkan dari kios Nyonya Sipi. Botol-botol tersebut, kami beri garis penanda untuk memastikan madu yang kami isikan sesuai takarannya.” Dengan tenang dan runut, Bebe menjelaskan.
Hewan-hewan yang mendengarkan penjelasan Bebe menjadi paham duduk persoalannya. Maka kerumunan hewan yang awalnya membela Nyonya Sipi, beralih memihak Bebe.
“Ja-jangan cari-cari alasan kamu!” hardik Nyonya Sipi, cemas.
“Sebagai pembuktian yang adil, apakah Nyonya Sipi berani menuang susu dalam botol ini ke dalam gelas ukur ini?” tantang Bebe.
“Hai, lancang kamu!” Nyonya Sipi, mencak-mencak. Emosi.
“Saya tidak bermaksud lancang, Nyonya Sipi. Saya hanya mau pembuktian yang berimbang. Toh, yang memulai ini semua adalah Nyonya Sipi sendiri,” tutur Bebe, datar.
“Buktikan! Buktikan!” tuntut kerumunan hewan yang menyaksikan.
Nyonya Sipi terus berkelit. Akan tetapi karena desakan para hewan kian besar, Nyonya Sipi akhirnya pasrah. Dengan cemberut, Nyonya Sipi melaksanakan instruksi Bebe. Seketika merah padamlah air muka Nyonya Sipi setelah terbukti bahwa susu miliknya pun tidak sesuai takaran.
“Baik, soal kuantitas memang tidak terbukti kalian bermaksud curang. Lalu bagaimana soal kualitas?” Nyonya Sipi yang sudah menanggung malu, mencari jalan lain untuk memojokkan Bebe dan kawanan lebahnya.
“Maksud Nyonya?” tanya Bebe.
“Apa madu kalian itu benar-benar asli tanpa campuran air?” Nyonya Sipi merasa kembali berada di atas angin.
“Bagaimana kami harus membuktikannya?” Bebe meminta saran.
“Terserah kalian!” jawab Nyonya Sipi, acuh tak acuh.
“Bolehkah saya membantu? Saya sudah melanglang buana ke berbagai taman bunga. Dengan sekali jilat saja, saya bisa membedakan antara madu asli dan bukan.” Seekor kupu-kupu gajah menawarkan diri sebagai penguji.
Hewan-hewan yang menonton mengangguk setuju.
“Kamu jangan ikut campur!” tolak Nyonya Sipi.
“Saya hanya ingin membantu menyelesaikan pertikaian ini,” balas kupu-kupu gajah itu santai.
“Kamu dan kawanan lebah bisa saja bersekongkol untuk menjatuhkanku!” tuduh Nyonya Sipi.
“Saya pastikan saya netral! Saya akan menilai dengan sejujur-jujurnya tanpa memihak!” janji kupu-kupu gajah.
“Saya tetap tidak setuju!” teriak Nyonya Sipi, angkuh.
“Begini saja. Bagaimana kalau semua hewan di sini yang menjadi jurinya?” Bebe menengahi.
Refleks Nyonya Sipi melotot. Dia tidak menyangka Bebe dan kawanan lebah akan seberani itu mengambil keputusan. Setelah berpikir dengan matang, Nyonya Sipi memutuskan kupu-kupu gajah saja yang menilai. Keputusan itu Nyonya Sipi ambil demi menghindari dukungan yang semakin membesar kepada Bebe dan kawanan lebah.
Bebe dan kawanan lebah menyambut baik keputusan Nyonya Sipi. Mereka kemudian menyorongkan satu sendok kecil madu untuk dicicip oleh kupu-kupu gajah.
“Madu ini seratus persen asli. Tanpa tambahan air atau lainnya,” simpul kupu-kupu gajah, yakin.
“Dan izinkan saya akan mengetes susu milik Nyonya Sipi. Susu murni atau bercampur air!” Seekor kambing maju ke hadapan.
“Tidak! Tidak perlu! Susuku seratus persen murni!” tolak Nyonya Sipi, waswas. “Bubar! Bubar! Kios mau aku tutup! Aku ada urusan lain!”
Dengan panik, Nyonya Sipi mengusir kerumunan hewan yang merapat ke kiosnya.
Syahdan sejak hari itu, Bebe dan kawanan lebah masyhur sebagai hewan yang jujur sementara Nyonya Sipi sebaliknya. Lantas bisnis madu Bebe dan kawanan lebah mengalami kemajuan pesat sedangkan Nyonya Sipi sebaliknya. (Tamat)
Endang S. Sulistiya, menetap di Boyolali. Alumni FISIP UNS. Tergabung dalam komunitas DSI (Diskusi Sahabat Inspirasi). Menulis cerpen berbahasa Indonesia maupun cerpen berbahasa Jawa. Cerpen-cerpennya sudah dimuat di media cetak dan online.
IG Sulistiya :@endangsrisulistiya.


