Frame 117

Layar Tancap

By Kak Novia Syahidah

“Bunda, Yaya menginap di rumah Neti, ya? Mau bikin PR sama-sama,” ujar Yaya sore itu.

Bunda hanya diam lalu memandang Yaya.

“Cuma malam ini aja, kok. Boleh ya, Bunda?” rayu Yaya semanis mungkin.

”Piringnya sudah dicuci semua?” tanya Bunda.

“Sudah. Malah panci-panci masak Bunda juga sudah Yaya bersihkan pakai abu gosok,” jawab Yaya cepat.

Bunda menoleh, menatap putrinya itu agak lama. “Memangnya kenapa kalau dikerjakan sendiri di rumah?” tanya bunda lagi. “Kan ada Kak Rita dan Bang Rifki yang bisa bantu Yaya.”

“Ini PR kelompok, Bunda. Jadi harus dikerjakan bersama.”

“Tapi biasanya teman-teman Yaya yang menginap di sini.”

“Iya, tapi hari ini mereka nggak mau, katanya bosan di sini terus. Jadi nggak apa-apa kan, kalau Yaya yang ganti nginap?” Yaya menjelaskan dengan mimik setengah memohon.

Bunda kembali terdiam.

“Boleh kan Bunda? Sekali ini aja, kok,” pinta Yaya. Suaranya mulai merengak.

“Yaya kan harus pergi mengaji ke musala.” Bunda kembali memberi alasan pada putri bungsunya.

“Ini kan malam minggu, Bun, Yaya libur ngajinya,” kilah Yaya cepat. “Jadi … boleh Bun?”

“Baiklah,” kata Bunda akhirnya. “Tapi janji ya, jangan nakal di rumah orang. Pagi-pagi sekali Yaya harus sudah kembali ke rumah. Hari Ahad Yaya mulai latihan silat di rumah Atuk. Oya, satu lagi, jangan makan mangga lagi!”

Yaya langsung terlihat gembira. “Iya, Yaya janji!” jawabnya cepat.

@@@

“Kamu dapat izin?” tanya Neti begitu melihat Yaya muncul di rumahnya sebelum magrib.

Sore itu Yaya terlihat rapi dengan kaos warna pink dan celana panjang merah. Rambutnya tetap dikuncir dua seperti biasa dengan poni yang menutup sebagian keningnya.

“Siapa dulu? Yayaaa,” jawab Yaya tersenyum bangga. “Iris dan Erna gimana? Belum datang, ya?”

“Belum. Rumah mereka kan dekat dari sini, paling sebentar lagi datang,” jawab Neti sambil tersenyum.

Mereka lega karena rencana tadi siang akhirnya kesampaian juga. Malam ini mereka akan menonton layar tancap di lapangan dekat sekolah. Jarang-jarang di kampung mereka ada acara seperti ini.

“Hai, kalian sudah siap?” Tiba-tiba Iris muncul bersama Erna. Wajah mereka terlihat cerah.

“Sudah. Tapi kita berangkatnya habis magrib aja. Jam segini belum ramai. Ayo, masuk dulu!” jawab Neti sambil menaiki tangga.

Ketiga sahabatnya mengikuti, menaiki rumah dengan tangga kayu itu. Rumah Neti adalah sebuah rumah panggung dari kayu yang tidak begitu luas itu. Adik Neti yang tiga orang tampak heran melihat mereka.

“Tumben kalian pada bawa makan? Mau menginap, ya?” tanya emak Neti ramah.

“Ehm. Iya, Mak.” Yaya, Erna, dan Iris menjawab serentak, dengan wajah sumringah.

“Wah, kalian mau tidur sempit-sempit? Rumahnya kecil, nggak ada kamar khusus untuk kalian. Jadi nanti tidurnya bareng sama adik-adik Neti. Mau?” tanya emak Neti. Perempuan setengah baya itu tampak bingung.

“Nggak apa-apa kok, Mak. Saya di rumah juga tidurnya desak-desakan sama adik-adik,” jawab Iris santai.

Hanya Erna pan Yaya yang terdiam. Maklum, mereka di rumah memiliki kamar sendiri. Tapi sudahlah, yang penting malam ini mereka jadi nonton layar tancap.

“Kalian mau nonton layar tancap ya?” Emak Neti kembali bertanya.

Yaya, Erna, dan Azima tak berani bersuara. Mereka hanya saling lirik.

“Iya, Mak. Kalau dari sini kan dekat ke lapangan,” jawab Neti ringan.

“O… tapi hati-hati ya! Kalian harus tetap berempat sampai acara selesai dan setelah itu langsung pulang,” ujar emak Neti lagi.

Itulah yang mereka suka pada emak Neti, beliau jarang melarang-larang dan mengomeli anak-anak. Suka bercanda dengan teman-teman Neti yang main ke rumah.

“Pada makan dulu sebelum pergi.” Emak Neti mengingatkan.

“Kita semua bawa nasi kok, Mak,” jawab Iris sambil memperlihatkan kotak nasinya. Yaya dan Erna mengangguk membenarkan.

“Sekarang ayo kita makan dulu!” ajak Neti sambil mengajak ketiga temannya.

Mereka pun duduk manis di bagian tengah rumah berlantai papan itu. Membuka kotak nasi masing-masing.

“Emakku asyik, ya? Nggak suka ngelarang-larang,” komentar Erna dengan suara dipelankan.

“Iya, yang penting jelas ke mana aku pergi dan dengan siapa perginya,” jelas Neti. Neti mengucapkan itu juga dengan suara pelan.

@@@

Lapangan itu letaknya tidak jauh dari rumah Neti. Jam menunjukkan pukul tujuh malam ketika mereka sampai di sana. Lapangan itu sudah terlihat ramai oleh orang-orang dewasa dan anak-anak muda. Tak ketinggalan anak-anak kecil seperti mereka.

Separuh dari lapangan itu tampak ditutup kain terpal setinggi dua meter. Di dalam lingkaran kain terpal itulah akan diputar film layar tancap. Bagi yang mau masuk harus membeli karcis dulu pada penjaga di pintu masuk. Tapi untuk anak-anak di bawah usia 12 tahun seperti Yaya dan kawan-kawan, boleh masuk gratis.

“Sebentar lagi filmnya diputar, kok,” kata seorang bapak yang berdiri di dekat mobil pick up. Mobil yang mengangkut peralatan layar tancap ke lokasi.

Tapi tunggu punya tunggu, sampai jam setengah delapan filmnya masih belum diputar lagi. Sebagian penonton mulai kesal dan mengomel.

“Karcisnya belum laku semua,” kata seorang pemuda pada temannya yang berdiri di dekat Yaya. “Makanya belum diputar juga.”

 

Akhirnya, setelah hampir pukul sembilan malam, barulah film yang ditunggu-tunggu itu diputar. Semua mata langsung tertuju pada kain putih lebar yang terpampang di bagian depan.

Yaya, Neti, Erna, dan Iris duduk manis di bagian depan, beralaskan sandal masing-masing.

Film yang diputar ternyata film kolosal yang cukup menegangkan. Beberapa kali mereka saling berpegangan karena tegangnya. Saking asyiknya, mereka sanggup bertahan sampai jam dua belas malam, tepat saat film itu selesai diputar.

@@@

“Ya, ampun! Sudah siang!” pekik Yaya begitu melihat cahaya dari celah jendela.

Erna, Iris, dan Neti ikut terbangun seketika. Begitu melihat hari sudah siang, mereka terlonjak bangun.

“Wah, sudah jam setengah tujuh!” jerit Erna panik “Kok emakmu nggak membangunkan kita?”

“Emak pasti masih di pancuran mengambil air untuk memasak. Ya sudah, kalian nggak usah mandi di sini. Langsung pulang aja!” kata Neti sambil membenahi selimutnya.

Yaya, Erna, dan Iris mengangguk sambil mengambil kotak nasi mereka sebelum bergagas menuruni tangga. Rambut mereka masih terlihat acak menuruni

@@@

Yaya yang rumahnya paling jauh terpaksa berlari menyusuri jalan-jalan kecil. Kalau tidak memotong jalan bisa lebih lama lagi sampai di rumah.

Di depan rumah, Bunda sudah berdiri dengan tangan terlipat di dada. Yaya bisa merasakan gelagat Bunda yang tidak bersahabat, dan itu membuatnya semakin takut mendekati halaman.

“Bagus sekali, Yaya! Apa yang Bunda khawatirkan terjadi juga,” kata Bunda menatap Yaya yang hanya bisa menunduk.

“Memangnya bangun jam berapa? Hampir jam delapan baru sampai di rumah?” tanya Bunda sambil terus berdiri di depan pintu masuk.

“Jam setengah delapan, Bun,” jawab Yaya pelan.

“Setengah delapan? Berarti shalat subuhnya lewat begitu saja? Yaya, Yaya.” Bunda menggeleng-gelengkan kepala.

“Yaya tahu artinya ini?”

Yaya mengangguk dan menjawab, “Besok nggak boleh menginap lagi.”

“Bagus! Sekarang cepat mandi dan siap-siap ke rumah Atuk!” kata Bunda, lalu beliau membalikkan tubuh dan bergegas masuk.

Yaya menyusul dengan langkah terburu. Hatinya lega karena Bunda tidak mengomel panjang lebar seperti biasa. Tapi tunggu dulu. Sepertinya Yaya tidak boleh senang dulu, sebab begitu ia siap dengan baju silat hitam, Bunda mendekat.

“Pulang Latihan nanti, bantu Kak Rita di dapur!” ujar Bunda tegas.

Yaya terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Ia tahu, kali ini kata-kata Bunda tak boleh dibantah dengan dengan alasan apa pun. Pekerjaan dapur yang sangat dibencinya kini sudah menunggu. Fiuuhhh…! (*)layar tancap

-- Akhir --

Bagikan Cerita

Baca tulisan menarik lainnya

Punya Naskah Cerita Sendiri?

Kirim Naskahmu Sekarang!

Naskah-Homepage