Frame 117

Bayangan yang Berpindah

By Fitriyani

Di sebuah desa kecil yang tenang, listrik belum masuk ke semua rumah. Sebagian hanya lampu teplok yang menyala , cahayanya temaram, berkelip jika ditiup angin malam. Termasuk di rumah Ammar.

Ammar, bocah delapan tahun yang selalu ingin tahu segala hal, sedang duduk di tikar rotan bersama ibunya. Di sudut ruangan, sebuah lampu teplok menyala menerangi ruangan. Api kecil di ujung sumbu bergoyang-goyang.

Tiba-tiba Ammar menunjuk ke dinding. “Mak, kenapa tadi bayangannya di sana… sekarang pindah ke situ?”

Ibunya hanya tersenyum sambil terus menumbuk sambal. “Karena cahayanya bergerak, Nak.”

“Tapi lampunya nggak jalan, kok bayangannya bisa pindah?” wajah Ammar bingung. Matanya menatap bayangan dirinya yang kini lebih panjang dan bergeser ke arah rak piring.

Tak ada jawaban yang memuaskan dari ibunya malam itu, hanya sebuah usapan lembut di rambutnya dan permintaan agar ia segera tidur.

Tapi malam itu Ammar tidak langsung tidur.

Ia mengambil buku tulis kosong dan pensil, lalu membuat gambar bayangan di dinding. Ia menggambar lampu dan posisinya, lalu garis hitam tempat bayangan muncul. Besoknya, ia ingin tahu lebih banyak.

Esok pagi, selepas salat Subuh dan sarapan, Ammar langsung pergi ke rumah Ustaz Rahim. Ia tahu ustaz itu menyimpan banyak buku dan pernah jadi guru IPA di kota sebelum kembali ke kampung.

“Assalamualaikum, Ustaz,” seru Ammar,

“Waalaikumsalam, Ammar. Ada apa kamu ke sini?” sahut Ustaz Rahim.

Ammar dengan tidak sabar bertanya, “Kenapa bayangan bisa pindah-pindah padahal pelitanya diam?”

Ustaz Rahim terkekeh. “Pertanyaan bagus, Ammar. Kamu pasti mengamatinya semalam, ya?”

Ammar mengangguk penuh semangat.

“Mari ikut ke belakang. Kita coba eksperimen kecil.”

Mereka berjalan ke halaman belakang rumah, tempat sinar matahari pagi mulai menghangatkan tanah.

Ustaz membawa sebuah lilin kecil dan karton putih. “Kita bayangkan pelita itu lilin, ya. Nah, sekarang kau ambil batu ini sebagai benda yang akan kita uji bayangannya.”

Ammar menaruh batu di depan lilin, dan Ustaz menyalakan api.

“Lihat ini, cahaya dari lilin hanya berjalan lurus. Ketika ada benda menghalanginya, seperti batu ini, maka cahaya tidak bisa menembusnya. Bagian belakang batu tidak mendapat cahaya, maka terbentuklah bayangan.”

Ammar mengangguk cepat. “Lalu kenapa bayangannya bisa pindah?”

“Sekarang gerakkan lilinnya ke kanan perlahan,” kata Ustaz.

Ammar melakukannya, dan ia terkejut melihat bayangan batu di karton bergerak ke kiri.

“Wah! Jadi, walau lilin yang pindah, bayangan justru ke arah sebaliknya?”

“Benar. Karena cahaya berpindah, arah datang cahayanya berubah, maka posisi bayangan pun bergeser,” jelas Ustaz.

Ammar terlihat berpikir dalam. Ia memandangi bayangan itu, lalu tersenyum.

“Jadi, kalau malam-malam pelitanya digeser sedikit saja, bayangan di dinding juga berubah?”

“Betul. Dan tidak hanya lilin atau pelita. Matahari juga begitu. Pagi hari bayanganmu panjang ke barat, lalu siang memendek, dan sore hari bayangan jadi panjang ke timur.”

Ammar membayangkan dirinya berdiri di lapangan sekolah. Ia pernah lihat bayangan teman-temannya berubah panjang dan pendek saat bermain kejar-kejaran. Tapi saat itu, ia tidak begitu memperhatikan.

Sejak hari itu, Ammar jadi rajin mengamati cahaya dan bayangan. Ia mencatat posisi bayangan meja di pagi dan sore. Ia mencoba membuat permainan bayangan dengan tangannya dan menyulap dinding kamarnya jadi layar pertunjukan.

Namun ada satu hal yang paling ia banggakan.

Malam itu, ketika ayahnya pulang dari laut dan pelita dinyalakan, Ammar berkata, “Ayah, lihat ya, kalau pelitanya digeser sedikit ke kanan, bayangan tiang kelambu ini akan pindah ke kiri. Coba Ayah perhatiin.”

Ayahnya menurut, dan benar saja, bayangan berpindah.

“Wah, kamu tahu dari mana, Mar?”

“Dari Ustaz Rahim. Ternyata cahaya selalu berjalan lurus. Kalau ada benda yang menghalangi, muncullah bayangan.”

Ayah mengangguk sambil tersenyum bangga. “Kamu makin pintar, Nak. Suatu saat, kamu bisa jadi ilmuwan. Atau mungkin, penemu lampu yang tidak padam.”

Ammar tertawa. “Aku mau buat pelita yang bisa berpindah sendiri. Jadi bayangannya bisa nari-nari di dinding.”

Malam itu, di tengah rumah yang hanya diterangi pelita, Ammar belajar tentang dunia yang jarang terlihat. Tentang cahaya, tentang arah, dan tentang betapa setiap hal kecil punya jawabannya, jika kita cukup penasaran untuk bertanya.

Dan sejak malam itu, setiap kali bayangan berpindah, Ammar tahu, bukan pelita yang bergerak sendiri. Tapi cahaya yang menjelajahi ruang, dan meninggalkan pelajaran di balik tiap bayangan yang terpantul di dinding. (Tamat)

 

Fitriyani adalah penulis yang mengangkat kisah-kisah sederhana penuh emosi dari kehidupan sehari-hari. Ia menulis dengan hati, terinspirasi dari setiap pengalaman, Cerpen-cerpennya menghadirkan karakter yang kuat, bahasa yang puitis namun membumi, dan pesan kemanusiaan yang menyentuh menjadikan setiap kisahnya dekat dengan pembaca.

 

 

-- Akhir --

Bagikan Cerita

Baca tulisan menarik lainnya

Punya Naskah Cerita Sendiri?

Kirim Naskahmu Sekarang!

Naskah-Homepage