Frame 117

Jujur atau Bohong?

By Kak Novia Syahidah

Ternyata apa yang dikhawatirkan Yaya tidak menjadi kenyataan. Rambut barunya tak mengundang ejekan sama sekali. Malah banyak yang bilang kalau ia kelihatan lebih cantik dengan potongan rambut seperti itu. Justru apa yang dikhawatirkan Bundalah yang terjadi. Yaya kelihatan lebih tomboy.

“Bagaimana tadi di sekolah? Ada yang mengejek?” tanya Bunda ketika Yaya pulang dari sekolah.

“Enggak,” jawab Yaya singkat sambil masuk ke kamarnya.

“Lho? Tapi kok cemberut begitu?” susul Bunda.

Yaya tak menyahut, hanya mulutnya terlihat kian mengerucut. Dan bunda tahu artinya itu, Yaya tidak mau ditanya lebih jauh. Lalu sambil mengangkat bahu beliau kembali ke dapur. Yaya yang masih sibuk mengganti seragamnya berkali-kali mendecak gusar.

“Ini hari Senin Iho, Ya! Jangan lupa nanti sore mengaji!” seru Bunda dari arah dapur.

Yaya tak menyahut. la kian gelisah mendengar kata-kata Bunda barusan. Memang, hari Senin sampai Jumat, waktunya Yaya belajar mengaji di musala. Bukan masalah mengajinya yang membuat perasaan Yaya tidak nyaman, melainkan soal hukuman di tempat mengaji itu.

Datuk Guru yang mengajar anak-anak mengaji, punya kebijakan yang cukup ketat. Anak-anak yang dalam sehari itu melakukan kesalahan, akan dihukum setelah kegiatan mengaji selesai.

Jika ada yang berbohong, berkata kotor atau berkelahi akan menerima hukuman menghapal minimal dua ayat surat pendek. Jika melawan orang tua, tiga ayat, sementara jika meninggalkan shalat harus menghapal empat ayat. Menghapal ayat itu harus dilakukan sebelum pulang ke rumah, saat pengajian sudah bubar.

Meskipun harus dihukum, anak-anak selalu jujur mengakui kesalahan mereka di depan Datuk Guru yang sudah beruban itu. Tidak ada yang berani berbohong dan menutupi kesalahan mereka. Belum lagi malunya ketika ditertawakan teman-teman.

@@@

Menjelang magrib, Yaya sudah siap dengan sarung dan mukenanya, juga kotak nasi. Seperti biasa, sambil menunggu azan magrib, Yaya dan teman-temannya makan di teras musala.

Makan ramai-ramai sambil tukar-tukaran lauk rasanya sangat asyik. Mereka tidak perlu membawa Alquran, karena di musala telah disediakan puluhan Alquran.

“Kamu bikin salah nggak hari ini?” tanya Erna saat mereka makan di teras musala.

Yaya menoleh sambil mengerutkan alis, seolah berpikir.

“Kalau kamu?” Neti yang duduk di sebelah Yaya balik bertanya pada Erna.

“Aku… kayaknya enggak ada tuh, cuma berantem sedikit sama kakakku,” jawab Erna sambil terus menyuap nasinya.

“Kalau aku ada. Tadi aku melawan sama emakku. Habis, aku terus yang disuruh-suruh, jadinya nggak bisa main,” ujar Neti merengut.

“Kalau aku hari ini bebas!” sela Iris tersenyum senang. “Jadi bebas juga dari hapalan ayat.”

Yaya cuma diam. Pikirannya sedang bekerja keras membayangkan kemungkinan terhindar dari hukuman Datuk Guru. Bagaimana kalau ia tidak mengaku saja bahwa hari ini ia telah berbohong di sekolah? Wah, bohongnya jadi berlipat dong!

Hati kecilnya membantah. Atau… diam saja sambil menggeleng? Uh, menggeleng kan sama saja dengan berkata tidak! Kembali hati kecilnya membantah. Atau…

“Alhamdulillah, azan tuh! Ambil wudhu, yuk!” seru Iris.

Salah seorang teman mengaji mereka sedang mengumandangkan azan magrib.

Yaya dan Erna yang belum sempat menghabiskan makan mereka, terpaksa menutup kotak nasi cepat-cepat. Kata Datuk Guru, jika sudah terdengar azan, semua kegiatan harus dihentikan dulu dan segera mengambil air wudhu. Karena bersegera menyahuti panggilan Allah itu adalah tanda keimanan yang baik.

@@@

Yaya menatap sebatang kapur yang diacungkan Datuk Guru ke arahnya. Semua mata tertuju padanya, menunggu jawaban dari mulut Yaya.

“Ada melakukan kesalahan atau tidak?” ulang Datuk Guru lebih tegas.

Yaya menelan ludah. la sudah membayangkan akan pulang paling akhir nanti untuk menghapal ayat-ayat. Ingin sekali ia menggeleng agar Datuk Guru segera berlalu. Dari puluhan anak yang hadir mengaji hari ini baru Zaenal yang mengaku berantem. Zaenal memang anak yang terkenal nakal.

Masa Yaya akan jadi orang kedua yang menerima coretan kapur malam ini setelah Zaenal? Duh, Yaya malu sekali. Tapi… jika ia berbohong, bohongnya akan berlipat ganda. Lagi pula menghapal ayat kan bukan perkara sulit bagi Yaya. Akhirnya dengan kepala menunduk Yaya berkata jujur.

“lya, Tuk. Hari ini Yaya bohong di sekolah.” Suara pasrah terdengar dari mulut Yaya.

“Bagus sudah mengaku. Nanti hapalan dulu sebelum pulang!” kata Datuk Guru sambil berlalu ke teman di sebelah Yaya.

Yaya menarik napas lega. Ufff… ternyata berbohong memang tidak enak, dan jujur itu lebih menentramkan hati.

Yaya bisa tersenyum ketika melihat Neti juga dapat hukuman, dan masih ada beberapa anak lagi yang dengan wajah meringis membuat pengakuan atas kesalahan mereka hari ini.

@@@

“Memangnya Yaya bohong apa di sekolah?” tanya Bunda saat Yaya pulang dari musala dan menceritakan perihal hukuman yang ia terima dari Datuk Guru.

“Yaya bilang sama teman-teman kalau rambut Yaya dipotong karena sudah bosan dengan rambut panjang.”

“Oya?” Bunda tersenyum geli.

“Habis Yaya malu kalau bilang rambutnya dipotong gara-gara kutu,” jelas Yaya sambil menggelayut manja di lengan Bunda.

*Ternyata berbohong itu panjang buntutnya, kan?” kata Bunda sambil mengelus kepala Yaya lembut.

Yaya mengangguk pelan.

“Bunda tahu nggak? Waktu nginap di rumah Neti kemarin, Yaya nggak bisa tidur nyenyak,” lapor Yaya.

“Kenapa?”

*Yaya kan tidur dekat Lia, adiknya Neti. Eh, dia tidurnya bentar-bentar berguling ke arah Yaya. Terus, kakinya nendang-nendang. Yaya kan jadi nggak bisa tidur. Udah gitu banyak nyamuk juga, Bun,” cerita bocah tomboy itu dengan mulut manyun.

“Makanya Yaya jadi telat bangun?” tanya Bunda.

Yaya menjawab sambil mengangguk, “Iya. Yaya kapok nginap di rumah Neti.”

“Tapi harus lebih kapok lagi berbohong,” ujar Bunda sambil tersenyum. Yaya ikut tersenyum malu. (*)

 

-- Akhir --

Bagikan Cerita

Baca tulisan menarik lainnya

Punya Naskah Cerita Sendiri?

Kirim Naskahmu Sekarang!

Naskah-Homepage