Pada suatu hari yang cerah, di atas desa kecil tempat tinggal seorang tokoh lucu dan bijak bernama Nasruddin Hoja. Ia dikenal oleh banyak orang karena selalu punya cara unik dalam menghadapi masalah. Kadang jenaka, kadang penuh hikmah, tapi selalu membuat orang berpikir.
Hari itu, Nasruddin mendapat undangan istimewa. Seorang lelaki kaya baru saja panen besar dari usahanya, dan ia mengadakan pesta besar-besaran untuk merayakannya. Semua orang penting di desa diundang, termasuk Nasruddin.
Namun, saat Nasruddin menerima undangan itu, ia sedang berada di ladang belakang rumah. Bajunya kotor, penuh debu dan sedikit noda tanah. Tapi ia takut terlambat ke pesta dan mengecewakan tuan rumah. “Ah, lebih baik datang dengan pakaian seadanya daripada tidak datang sama sekali,” gumam Nasruddin sambil bergegas menuju rumah si kaya.
Sesampainya di sana, alangkah terkejutnya ia. Semua orang tampak sibuk berbincang satu sama lain. Meja-meja dipenuhi makanan lezat, musik dimainkan, dan orang-orang tertawa riang. Tapi tidak satu pun dari mereka yang menyambut Nasruddin. Tidak ada yang mengajak bicara, apalagi menawarkan makanan atau minuman. Ia berdiri di sudut ruangan seperti bayangan. Bahkan tuan rumah yang mengundangnya pun seolah tak melihat keberadaannya.
Hati Nasruddin terasa sedih. “Oh, rupanya aku tak dianggap penting hanya karena pakaianku sederhana,” pikirnya. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia pelan-pelan meninggalkan pesta itu. Anehnya, tak ada satu pun yang menyadari kepergiannya.
Setibanya di rumah, Nasruddin langsung mengganti pakaiannya. Ia membuka lemari dan mengeluarkan jubah terbaiknya, jubah berwarna biru tua dengan bordir emas yang berkilauan. Ia menyisir rambutnya, merapikan janggut, dan kembali berjalan ke arah rumah si kaya.
Begitu Nasruddin melangkah masuk dengan jubah indahnya, pesta itu seakan berhenti sejenak. Semua mata tertuju padanya. Orang-orang yang tadi diam saja, kini langsung menghampiri.
“Selamat datang, Nasruddin!” seru tuan rumah dengan senyum lebar, memeluknya erat. “Mengapa baru datang sekarang? Kami sudah menunggumu dari tadi!”
Tamu-tamu lainnya pun berebut untuk bersalaman dengannya. Para pelayan berlomba-lomba menawarkan minuman segar dan makanan lezat. Bahkan, Nasruddin dipersilakan duduk di meja terbaik, tepat di depan panggung hiburan. Semua orang memujinya, bukan karena dirinya, tapi karena jubahnya yang mewah dan mengagumkan.
Nasruddin hanya tersenyum. Ia menikmati makanan, bercanda, dan melontarkan cerita-cerita lucu khasnya yang membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal. Tapi di balik senyumannya, ada sesuatu yang sedang ia rencanakan.
Tak lama kemudian, Nasruddin diam-diam berdiri dan berjalan mendekati dapur tempat para pelayan sibuk mengisi piring-piring besar. Di sana, ada wajan besar berisi sup panas yang menggoda. Lalu ia mulai melakukan sesuatu yang aneh.
Dengan pelan-pelan, ia mencelupkan ujung jubah mewahnya ke dalam sup, lalu mengangkatnya. Dicelupkan lagi, diangkat lagi. Sambil berkata pelan, “Makanlah, jubahku. Makanlah sup ini. Kau pantas mendapatkannya.”
Beberapa orang melihat tingkahnya dan mulai tertawa. “Hahaha! Lihat, Nasruddin sedang bermain-main! Ia benar-benar lucu!”
Namun tak lama kemudian, sebagian tamu merasa bingung, bahkan risih. Mereka berbisik-bisik, menatap heran. Tuan rumah yang melihat kejadian itu pun bergegas menghampiri. Wajahnya merah padam.
“Nasruddin! Apa-apaan ini? Kenapa kamu mencelup-celupkan jubahmu ke dalam sup? Sup itu jadi kotor dan tak bisa dimakan!” sergahnya marah.
Nasruddin menghentikan gerakannya, lalu berdiri tegak menghadap semua orang. Dengan tenang, ia berkata, “Maafkan aku, Tuan. Aku hanya sedang memberi makan jubahku. Karena kalau bukan karena jubah ini, aku yakin aku tidak akan disambut hangat dan dihormati seperti sekarang. Tadi, saat aku datang dengan pakaian sederhana, tak satu pun dari kalian yang menyapaku, apalagi menawarkan makan atau duduk.”
Semua orang terdiam. Tawa hilang, digantikan rasa malu yang perlahan-lahan menyelimuti hati mereka.
Nasruddin melanjutkan, “Kalian hanya menghormati jubahku, bukan diriku. Padahal, bukan jubah yang bisa berbicara, bercanda, atau bersahabat. Yang punya hati adalah manusia, bukan kain. Tapi sayangnya, kalian lebih peduli pada kemewahan daripada kebaikan.”
Ucapan itu menancap dalam hati setiap tamu. Tuan rumah tertunduk malu. Ia sadar, ia telah bersikap tidak adil kepada sahabatnya sendiri.
Anak-anak yang ada di pesta pun ikut mendengarkan, dan salah satu dari mereka bertanya polos, “Nasruddin, jadi maksudmu, kita tidak boleh menilai orang dari bajunya?”
Nasruddin tersenyum hangat. Ia mengusap kepala anak itu dan berkata, “Betul, Nak. Jangan menilai orang hanya dari penampilan luarnya. Baju bisa dilepas dan diganti, tapi hati yang baik adalah harta sejati. Itu yang tak bisa dibeli dengan uang.”
Sejak hari itu, warga desa selalu mengingat kejadian di pesta itu. Mereka belajar dari kebijaksanaan Nasruddin Hoja. Tak lagi mereka memandang rendah orang hanya karena pakaiannya sederhana. Sebaliknya, mereka mulai memperhatikan hati, kebaikan, dan akhlak.
Dan Nasruddin? Ia tetap menjadi orang sederhana yang penuh tawa dan hikmah. Tapi sekarang, tak peduli ia datang dengan jubah mewah atau baju kusam, semua orang tahu, nilai seorang sahabat bukan di pakaiannya, tapi di hatinya. (Tamat)


