“Assalamualaikum Bu Haji, mau ke mana? Hahahaha!” ledek Vania pada Nurul.
Nurul cemberut.
“Hei! Aku ini masih kelas sembilan, tahu! Masa kamu panggil aku ibu haji! Aku ini masih terlalu kecil buat dipanggil ibu haji!” seru Nurul marah.
Vania dan teman-teman tertawa.
“Lihat aja dandanan jilbabmu! seperti mamaku, Bu Haji!” kata Nana sambil tertawa, diikuti suara tawa teman-temannya.
Nurul segera pulang, sudah hampir pukul tiga sore.
Sesampainya di depan rumah, terlihat Mama sedang menyapu teras rumah. Sepertinya Mama memang menunggu Nurul yang pulang terlambat.
“Assalamualaikum, Ma. Maaf, Nurul pulang terlambat,” kata Nurul.
“Waalaikumsalam,” Mama menjawab salam dan mengangguk.
“Huuh! Kenapa sih, teman-teman selalu mengejekku Bu Haji? padahal biasanya yang dipanggil ibu haji itu ibu-ibu atau nenek-nenek!” gerutu Nurul, ia segera masuk kamar untuk ganti baju dan berbaring di tempat tidur.
“Nurul sayang, makan siang dulu, Nak!” seru Mama dari meja makan.
Nurul segera menuju ruang makan. Di sana ada Nia, adik perempuannya dan Kak Faris sepupunya, sudah duduk manis. Nia bersekolah di taman kanak-kanak dekat sekolah Nurul.
“Bismillahirahmanirahim, mari makan!” kata Nurul.
Siang itu, menu makan siangnya adalah nasi putih, sayur asem, dan ayam goreng kecap kesukaan Nia dan Nurul. Setelah makan, Nurul membantu Mama mencuci piring.
“Ma, Nurul ke sekolah tidak usah pakai jilbab tidak apa-apa kan? Lagi pula di sekolah kan, tidak wajib pakai jilbab,” kata Nurul.
Mama terkejut.
“Kak, kamu itu sudah besar. Waktunya belajar pakai jilbab,” kata Mama sambil tetap mencuci piring.
“Tapi teman-teman Nurul nggak apa-apa tuh! buktinya mereka masih tidak berjilbab ke sekolah. Padahal kan, umurnya sama seperti Nurul!” seru Nurul protes.
Mama menggeleng.
“Iya, umurnya memang sama. Tapi bukan berarti kamu harus seperti teman-teman, kan? Apalagi nggak semua teman kamu di sekolah itu memeluk agama Islam. Agama selain Islam kan, tidak perlu memakai jilbab.” jelas Mama.
Nurul cemberut.
“Mama, Kak Faris agamanya Islam, kenapa nggak pakai jilbab?” tanya Nia. Seketika Nurul dan Mama tertawa.
“Hahaha, Nia sayang, walau Islam, Kak Faris itu laki-laki. Laki-laki itu tidak boleh pakai jilbab, nanti seperti perempuan. Kan yang pakai jilbab hanya perempuan,” kata Mama.
Kak Faris yang sedang menginap di rumah Nurul pun bingung. “Hei, kenapa sih, bicarakan aku? Memangnya ada apa?” tanya Faris. Faris adalah anak dari Tante Mara, adik Mama.
“Kalau begitu, Nurul akan tetap pakai jilbab, Ma,” kata Nurul.
Mama mengacungkan jempol pada Nurul.
“Tapi bagaimana ya, biar teman-teman ngga meledekku lagi?” gumamnya. Ia mencari cara agar tidak diledek. Tapi, Nurul malah tertidur di sofa ruang tamu.
***
Keesokan harinya, Nurul mendapat ide. Saat berangkat les Bahasa Inggris, ia berpenampilan beda. Ia memakai jilbab sesuai usianya. Nurul mengenakan kaus lengan panjang dan celana panjang longgar. Tidak lupa, jilbab berbahan kaus yang bisa langsung dipakai.
Selama ini, ia sering mengenakan blus dan jilbab Mama jika akan pergi les. Pantas saja dipanggil ibu-ibu. Walaupun berjilbab, ia harus berpenampilan sesuai umurnya. Jangan kayak ibu-ibu.
“Bagaimana kalau Vania tetap meledekmu, Kak?” tanya Mama.
“Biarkan saja, Ma! Yang penting aku suka berjilbab!” balas Nurul, mengenakan jilbabnya yang berwarna biru muda.
Ah, ia nampak cantik sekali! (Tamat)
(Cerpen ini sudah pernah dimuat di Majalah Cilukba, November 2019, Juara 3 Lomba Cerpen Anak Majalah Cilukba, 2019)
Nailah Aieola Nabihah, siswa kelas X1.1 SMAN 1 Ungaran, Kab. Semarang


