Frame 117

Hukumannya Adalah…

By Kak Novia Syahidah

“Yaya nggak senang ya bantu Kakak?” tanya Rita sambil melirik adik bungsunya siang itu.

“Enggak kok,” jawab Yaya singkat.

“Trus kenapa dari tadi Yaya asyik garuk-garuk kepala aja sambil manyun?”

“Habis kepala Yaya gatal. Gataaal banget!” jelas Yaya yang masih menggaruk kepalanya. Rambutnya yang dikuncir terlihat awut-awutan.

“Kutuan kali!”

“Apa?” Yaya membelalak. Dia paling geli melihat kutu.

“Sini, biar Kakak lihat!” seru Rita sambil meletakkan spatula di dekat kompor.

Yaya mendekat, membiarkan kakak sulungnya yang duduk di kelas tiga SMA itu mengacak-acak rambutnya.

“Tuh, kan! Apa Kakak bilang!” seru Rita tiba-tiba.

Yaya terperanjat.

“Lihat, nih! Kutu, kan?” ujar Rita sambil meletakkan sesuatu di lantai dapur.

Seekor binatang imut berwarna hitam tampak menggelepar di lantai.

“Ha? Kutu?!” teriak Yaya. Ia menutup mulutnya bergidik.

Bunda yang baru masuk ke dapur ikut memperhatikan binatang kecil itu.

“Nah! Itu satu lagi akibat buruk menginap tempo hari,” kata Bunda.

Yaya hanya diam meringis. Ia masih geli melihat kutu di lantai yang kini telah berjumlah tiga.

“Ini yang keempat!” kata Rita seraya meletakkan seekor lagi di lantai dapur. “Kalau kayak gini, mending Yaya jauh-jauh, deh! Nanti masakannya kemasukan kutu. Hii… jijik!”

“Idih, Kak Rita kok gitu?” Yaya cemberut. “Turunkan dulu dong semua kutunya dari kepala Yaya!”

“Yeee, Kakak kan harus masak. Sana, sama Bang Rifki aja!” ujar Rita, lalu mendorong tubuh mungil Yaya dan kembali mengambil sendok gulainya.

“Sini, biar Bunda yang cari!” ucap Bunda menawarkan diri.

Yaya mengikuti langkah Bunda ke ruang depan.

“Habis semalam tidurnya bareng adik-adik Neti juga. Mereka tuh yang kutuan,” sungut Yaya dengan nada menyesal.

Yaya menghempaskan tubuhnya di sofa, duduk di hadapan bunda.

“Wah, kutuan, nih yeee,” ujar Rifki yang baru keluar dari kamarnya langsung meledek begitu melihat adegan cari kutu di ruang depan itu.

“Biarin!” Yaya cemberut, sebal.

Rifki tertawa ngakak, “Yaaah, sewot! Makanya, jangan suka bohong! Itu tuh akibatnya!”

“Bang Iki apaan, sih?” kilah Yaya yang biasa memanggil abangnya dengan sebutan Iki.

“Bilangnya bikin PR kelompok, nggak tahunya nonton layar tancap.”

Yaya terkesiap. Kepalanya yang tadi menekur langsung mendongak.

“Eh, ini kepala jangan diangkat dulu! Mau dicari nggak kutunya?” ujar Bunda. kembali menekuk kepala Yaya

“Tuh, nggak bisa mungkir lagi, kan?” seru Rifki masih tertawa menggoda.

“Rifki! Kamu kayak kurang kerjaan aja? Sana ganti dulu seragamnya! Sudah SMA kok masih seperti anak kecil? Selalu diingatkan dulu!” kata Bunda sambil mendelik.

Rifki mengangkat bahu. Bersiul-siul riang ia kembali ke kamarnya.

Yaya masih terdiam dengan kepala ditekuk. Perasaannya tidak nyaman. Dari mana abangnya tahu kalau dia berbohong? Lalu, kenapa Bunda tidak pernah menyebut-nyebut hal itu sejak tadi? Yaya menarik napas, menenangkan keterkejutan yang melanda jantungnya akibat kata-kata Rifki barusan.

“Bunda,” kata Yaya pelan.

“Ya?” sahut Bunda sambil terus mencari kutu di kepala Yaya.

“Mmm… Bunda sudah tahu, ya?”

“Tahu apa?”

“Kalau Yaya bohong?”

“Iya. Memang kenapa?”

“Kok Bunda nggak marah?”

“Untuk apa?”

“Biasanya Bunda marah kalau Yaya bohong.”

“Bunda capek marahin Yaya. Tapi Ayah sudah siapkan hukuman kok buat Yaya.”

Yaya terkesiap. “Apa? Ayah?”

Spontan ia membalik menatap wajah Bunda dengan cemas. Kalau Ayah sudah turun tangan, bisa gawat urusannya.

Bunda berkata dengan tersenyum, “Tapi Bunda enggak tahu apa hukumannya. Nanti tanya aja sama Ayah.”

@@@

“Sebenarnya Ayah belum memutuskan hukuman yang cocok untuk anak kecil yang suka berbohong. Tapi melihat perkembangan yang terjadi, maka Ayah memutuskan bahwa hukuman yang cocok untuk Yaya adalah…”

Yaya menunggu kelanjutan kalimat Ayah dengan tegang. Rita dan Rifki ikut penasaran, ingin tahu hukuman yang akan diterima si bungsu itu. Bunda terlihat senyum-senyum di samping Ayah.

“Hukumannya adalah… ini!” seru Ayah sambil mengangkat sebuah benda yang tergenggam di tangannya. Yaya langsung membelalak. Gunting?

“Aduh, jangan dong, Yah! Yaya nggak mau rambutnya dipotong!” rengek Yaya sambil memegang rambutnya.

Tapi Ayah menjawabnya dengan gelengan, yang berarti keputusan tidak akan berubah lagi.

“Enggak apa-apa, Ya! Daripada nanti di akhirat lidahnya yang digunting karena bohong, mending sekarang rambutnya yang digunting. Lagi pula, biar kutunya pada nggak betah. Ya enggak, Kak?” Rifki tersenyum sambil melirik Rita yang sudah selesai memasak.

Fauzan tersenyum sambil melirik Rita. Yaya cemberut.

“lya. Ini hukuman bagi yang salah. Jangan giliran dapat hadiah dari Ayah aja baru girang. Dapat hukuman juga senang, dong!” timpal Rita sambil mengelus bahu adiknya itu.

Yaya menjawab dengan cemberut, “Hadiah apaan? Dari dulu Yaya minta dibelikan boneka beruang yang gede, nggak pernah dibelikan Ayah.”

“Ayah sudah janji akan membelikan boneka itu kalau Yaya naik ke rangking satu, jangan rangking dua terus,” ujar Bunda sambil tersenyum.

“Fifi aja yang sekolahnya nggak pernah juara, kemarin dibelikan akuarium kecil oleh ibunya. Akuariumnya bagus banget lagi,” kilah Yaya sambil menyebut nama salah seorang teman sekelasnya.

“Makanya, Yaya juga jangan suka malas kalau disuruh bantu pekerjaan Bunda dan Kak Rita,” kata Rita lagi.

Yaya hanya diam dengan mulut makin mengerucut.

@@@

Keesokan harinya, hukuman untuk Yaya pun dilaksanakan. Rambutnya yang sepunggung, kini tinggal sebatas bahu.

Wajahnya kelihatan makin imut. Bunda, Rita, dan Fauzan menyaksikan dari teras.

“Tapi Bunda khawatir juga, jangan-jangan Yaya makin tomboy setelah rambutnya dipotong kayak gitu,” ujar Bunda cemas.

“lya juga, ya. Kemarin-kemarin aja sudah susah disuruh pakai rok,” timpal Rita.

Yaya tampak kesal kepalanya di pegang-pegang Ayah. Berkali-kali ia mengibaskan rambut yang menempel di bajunya.

“Jangan bergerak terus, dong! Nanti kupingnya kena gunting, nih,” kata Ayah sambil memegang kepala Yaya. “Atau mau rambutnya jadi jelek?”

“Lagian, Ayah kan bukan tukang salon. Jadi hasilnya asti jelek!” ketus Yaya.

“Eh, jangan menghina dulu. Nanti lihat sendiri hasilnya, nggak kalah sama tukang salon,” jawab Ayah sambil tersenyum.

“Pokoknya pasti jelek!” ketus Yaya.

“Lho? Kok ngotot sih, kepengen jelek?” kata Rifki sambil mendekat dan membetulkan kain putih yang menutupi

tubuh Yaya.

“Udah! Nggak usah dibener-benerin!” ujar Yaya menepiskan tangan Rifki.

“Yeee, sewot aja, sih?” Rifki akhirnya menjauh, kembali duduk di dekat Rita dan Bunda.

Yaya yang duduk di kursi dekat halaman samping, me!otot sebal. Ayah hanya tersenyum, maklum akan kemarahan putri bungsunya itu. Sejak kecil, Yaya memang paling benci kalau rambutnya dipotong. Dia sangat suka dikuncir dua.

@@@

Malamnya Yaya begitu sulit memejamkan mata. Ia malu membayangkan besok datang ke sekolah dengan rambut baru. Pasti banyak yang akan meledeknya, terutama anak laki-laki.

la benci melihat rambutnya yang dipotong sangat pendek oleh Ayah. Memang, gatal di kepalanya jauh berkurang setelah diolesi bat kutu oleh Bunda. Tapi rasa kesal akibat kehilangan rambut kuncirnya membuat Yaya sulit tidur. Belum lagi mengingat betapa malunya jika teman-teman di kelas meledek rambut barunya.

Dalam hati Yaya sempat berkhayal, andai saja ia berkerudung seperti kakaknya, Rita, pasti tidak akan ada yang tahu tentang perubahan gaya rambutnya.

“Ya Allah, jangan biarkan teman-teman mengejek Yaya. Tolong cepat panjangkan lagi rambut Yaya,” doanya sungguh-sungguh.

Lalu perlahan matanya mengatup. Setelah menguap beberapa kali, Yaya pun tertidur pulas. (*)

 

-- Akhir --

Bagikan Cerita

Baca tulisan menarik lainnya

Punya Naskah Cerita Sendiri?

Kirim Naskahmu Sekarang!

Naskah-Homepage