Frame 117

Dasta Tidak Mau Sekolah

By Haziq Avicena Aidil

Di pagi hari yang cerah Dasta bangun dengan perasaan kesal. Dia marah pada pembantu karena membangunkannya untuk berangkat sekolah. Mama Desta menasehati agar tidak membentak orang yang lebih tua. Akan tetapi, dia tidak mendengar nasihat itu. Dasta justru mengamuk, melempar  bantal dan guling.

“Dasta, kamu tidak boleh begitu,” kata mamanya menasihati.

“Apa sih, Ma? Dianya aja yang ribet. Sok rajin. Pakai ngebangunin aku segala lagi,” gerutu Dasta.

“Kamu tidak boleh seperti itu. Sekolah itu memang kewajibanmu. Seharusnya kamu bangun sendiri, gak perlu nunggu dibangunin!” seru mama Dasta.

Mendengar nasihat mamanya Dasta semakin merasa kesal.  Dia pun memutar bola matanya sambil berkata. “Ya…. Ya…. Ya….”

Melihat tingkah Dasta, mamanya hanya bisa geleng kepala. Kelakuan Dasta sudah di luar batas. Padahal dia sudah sering dinasihati. Akan tetapi, Dasta tidak pernah mau mendengarnya. Padahal dia sudah duduk di bangku kelas enam, dan sebentar lagi akan melaksanakan ujian.

“Pokoknya hari ini kamu harus tetap sekolah,” ucap mama Dasta tegas.

Dasta kesal dia menghentakan kaki ke lantai, dan pergi menuju kamar mandi. Di kepalanya Dasta sudah mempunyai sebuah rencana. Dia akan mengikuti keinginan mamanya untuk pergi ke sekolah. Namun, ketika tiba di dekat gerbang sekolah, dia justru berbelok ke arah warnet. Tepat di depan warnet, Dasta melihat Robin berjalan membawa keranjang.

“Hei, Robin. Kenapa kamu tidak pergi ke sekolah? Kamu bolos, ya?”

“Aku nggak bolos, Dasta,” jawab Robin.

“Terus ngapain kamu di sini. Itu kamu bawa apa?” tanya Dasta sambil menunjuk yang dibawa Robin.

“Aku tidak sekolah karena belum membayar uang sekolah. Ini adalah daganganku. Aku membantu orang tuaku, agar bisa membayar uang sekolah,” jelas Robin.

“Hahahaha. Makanya jadi orang jangan miskin,” ledek Dasta.

Robin tersenyum lalu menjawab. “Iya, Dasta, kamu beruntung jadi anak orang kaya. Seharusnya kamu sekolah dengan baik. Bukan bolos seperti ini. Kalau aku jadi kamu, aku akan rajin sekolah. Supaya bisa menggapai cita-cita.”

“Banyak bacot, kamu. Terserah aku dong. Kan uang orang tuaku.”

Robin tidak lagi berkata apa-apa. Dia pun terus berjalan, menjajakan dagangannya. Sedangkan Dasta masuk ke warnet dan mulai main game.

Dasta bermain dengan asyik. Dia sudah di warnet selama dua jam. Tiba-tiba dia mendengar ada yang memanggilnya. Dasta langsung menoleh. Dia pun terkejut saat melihat orang yang memanggilnya.

“Mama,” kata Dasta. “Nga …. Ngapain Mama di sini?” tanyanya seperti orang gagap.

“Mama dapat telepon dari wali kelasmu, kalau hari ini kamu tidak ke sekolah.”

Dasta tertunduk, dia tidak bisa berbohong lagi. Dia ketahuan bolos sekolah. Sesampai di rumah Dasta dimarahi oleh mamanya, dan dia pun melawan.

“Dasta nggak mau sekolah, Ma. Belajar itu membosankan.”

“Owh. Jadi, kamu gak mau sekolah?” tanya mamanya.

Dasta mengangguk. “Baiklah. Mama ikutin mau kamu. Tapi, ikut Mama sekarang.”

Dasta masuk ke dalam mobil bersama mamanya. Dia tidak tahu akan dibawa ke mana. Yang penting dia boleh tidak sekolah.

“Ini rumah siapa, Ma?” tanya Dasta. Mereka sampai di sebuah rumah kecil dekat pemkiman padat.

“Ikut aja,” jawab mamanya.

Di dalam rumah yang kecil itu ada Robin, temannya, juga ada seorang ibu-ibu. Di dalam hati Dasta bertanya mengapa dia dibawa ke sini. Rumah kecil yang sempit. Dasta duduk di dekat Robin yang sedang mengisi kue ke dalam keranjang. Sedangkan mama Dasta dan ibu Robin sedang berbicara.

“Ini buat apa, Bin?” Dasta penasaran melihat Robin menghitung jumlah kue yang ada di dalam keranjang.

“Kue ini dagangan ibuku. Ini pesanan orang. Aku harus mengantarnya. Kalau tidak kami tidak dapat uang. Kalau kami tidak punya uang, kami tidak bisa makan,” jelas Robin.

Dasta terkejut mendengar perkataan Robin. Robin harus ikut membantu orang tuanya mencari uang, sedangkan dia bisa jajan semaunya.

“Setiap hari kamu seperti ini?” tanya Dasta

Robin mengangguk. “Iya. Makanya, Das. Seharusnya kamu bersyukur, karena tidak perlu ikut mencari uang. Kamu hanya tinggal sekolah dan bermain. Di lingkungan sini banyak anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena tidak punya biaya.”

Dasta terdiam. Dia jadi merasa bersalah karena selama ini menyia-nyiakan anugerah Tuhan. Kemudian dia pun sadar dan berjanji akan menjadi anak baik. Sekolah dan belajar dengan sungguh-sungguh. (Tamat)

Haziq Avicena Aidil adalah seorang siswa yang baru naik kelas enak.  Dia mulai menyukai menulis sejak di sekolahnya ada kelas literasi. Ini kedua kalinya dia mengirim tulisan ke KBM Kids. Sebelumnya puisi berjudul GURUKU telah terbit. Saat ini dia pun sedang belajar mendongeng.

-- Akhir --

Bagikan Cerita

Baca tulisan menarik lainnya

Punya Naskah Cerita Sendiri?

Kirim Naskahmu Sekarang!

Naskah-Homepage