Frame 117

Bawang Putih dan Bawang Merah

By Redaksi

“Ayo, cepat cuci pakaian itu ke sungai! Aku mau memakaianya besok!” teriak Bawang Merah pada adik tirinya, Bawang Putih.

Bawang Merah dan Bawang Putih adalah dua saudara tiri. Ayah Bawang Putih menikah dengan ibu Bawang Merah. Mereka tinggal di rumah Bawang Putih. Bawang Merah memiliki rupa yang kalah cantik dibanding Bawang Putih. Hal itu membuat Bawang Merah sangat iri pada saudara tirinya itu.

Mereka memiliki juga sifat yang berbeda. Bawang Putih memiliki sifat yang sangat baik. Semua orang menyukainya. Sementara Bawang Merah memiliki sifat yang tidak baik. Dia dan ibunya suka berlaku buruk pada Bawang Putih terlebih setelah ayah Bawang Putih meninggal dunia.

Mereka menguasai rumah dan segala isinya serta memperlakukan Bawang Putih seperti pembantu. Hingga Bawang Putih menderita karenanya. Semua pekerjaan rumah dibebankan kepada Bawang Putih. Sementara Bawang Merah hanya bersolek dan menyuruh-nyuruh sesukanya.

“Jangan lupa, cuci yang bersih! Aku tidak mau pakaianku ada kotoran sedikitpun!” seru Bawang Merah lagi saat Bawang Putih hendak berangkat ke sungai.

“Jangan main-main di sungai, cepat pulang!” timpal ibu tirinya pula.

Bawang Putih hanya menarik napas dan mengangguk. Dia melangkah bergegas menuju sungai. Di sungai ia hanya sendirian. Saking lelah dan banyak melamun, tak sengaja air menghanyutkan selendang yang sedang dicucinya. Bawang Putih berusaha mengambilnya. Sayangnya, selendang itu tidak berhasil diselamatkan.

“Ibu pasti akan memarahiku,” kata Bawang Putih mulai menangis ketakutan.

Ia tak berani pulang. Hari semkin siang, namun Bawang Putih masih tersedu di tepi sungai. Pasti ibu dan kakak tirinya sudah mengomel di rumah menunggunya.

Tiba-tiba sebuah suara bertanya padanya, “Apa yang kau lakukan, Cucu?”

Bawang Putih mencari sumber suara tersebut. Ternyata itu suara seorang nenek tua.

“Selendang ibuku hanyut, Nek. Ibuku pasti marah,” jelas Bawang Putih.

“Jangan sedih. Ayo, aku punya sesuatu untukmu,” kata wanita tua itu.

Bawang Putih yang sedih pun mengikuti wanita tua tersebut. Ia memikul keranjang cuciannya yang berisi pakaian Bawang Merah. Mereka pergi ke sebuah pondok di tepi sungai. Ternyata itu adalah rumah si nenek.

“Nenek punya dua labu. Kamu bisa membawa pulang keduanya,” kata nenek itu sambil menunjukkan dua buah labu. Satu labu besar dan satu lagi labu kecil.

“Aku yakin Ibu akan senang jika aku membawa dua labu. Kita bisa makan sampai kenyang. Tapi rumahku sangat jauh dan aku harus membawa cucian. Aku  bawa satu saja,” jawab Bawang Putih.

“Baiklah, kalau itu maumu. Sekarang ambil labu ini dan cepat pulang. Ibumu pasti sudah menunggumu,” jawab si nenek.

Bawang Putih pulang dengan hati yang agak lega. Tangan kanannya membawa baju yang baru dicuci. Sedangkan tangan kirinya membawa labu pemberian si nenek. Ternyata Bawang Merah dan ibu tirinya sudah menunggu di luar rumah. Mereka terlihat marah.

“Kenapa kau baru pulang? Bukankah sudah aku peringatkan agar cepat pulang?” tanya sang ibu dengan suara tinggi.

“Ke mana saja kau? Kau belum memasak untuk kami. Kami sudah sangat lapar!” lanjut Bwang Merah dengan wajah kesal.

“Maaf, Bu, maaf, Kak. Aku terlambat, tapi aku membawa labu untuk makan siang kita,” kata Bawang Putih mencoba menenangkan mereka. Lalu Bawang Putih menceritakan masalahnya, bahwa selendang sang ibu hanyut di sungai.

“Apa? Kau menghilangkan selendangku?” Ibu tirinya benar-benar marah, mukanya merah padam.

“Dan kau cuma membawa labu? Aku tidak mau makan labu itu!” tolak Bawang Merah.

“Lemparkan labu itu ke depan dia, biar dia habiskan sendiri!” seru ibu tirinya geram.

Bawang Merah lalu mengambil labu dari tangan Bawang Putih dengan kasar dan membantingnya dengan keras.

Tapi betapa terkejutnya mereka. Dari pecahan labu itu berhamburan perhiasan emas dan permata yang mahal. Rupanya labu itu adalah labu ajaib. Bawang Merah dan ibu tirinya yang serakah langsung tertawa senang dan  mengambil semua perhiasan tersebut. Bawang Putih pun heran dengan apa yang dilihatnya.

“Di mana kau mendapatkan labu Ajaib ini?” tanya ibu tirinya.

“Aku mendapat labu ini dari seorang nenek di tepi sungai. Ia mengajakku ke rumahnya saat melihat aku menangis karena kehilangan selendang Ibu,” jelas Bawang Putih. “Sebenarnya dia menyuruhku membawa dua buah labu. Tapi karena aku harus membawa cucian juga, aku membawa satu saja.”

Setelah mendengar cerita Bawang Putih, Bawang Merah dan ibu tirinya menjadi tertarik. Bawang Merah jadi berpikir, jika ia mendapatkan labu juga, pasti mereka akan lebih kaya. Tak ingin diketahui, Bawang Merah langsung menyuruh Bawang Putih memasak di dapur.

“Aku akan mengambil labu itu, Ibu. Agar kita lebih kaya,” kata Bawang Merah kepada ibunya. Ibunya setuju dan melepas Bawang Merah pergi ke tempat nenek itu.

Sampai di rumah sang nenek, Bawang Merah berpura-pura sedih dan kelaparan untuk dikasihani.

“Ambillah labu ini!” kata nenek itu menunjuk sisa labu yang tidak jadi dibawa Bawang Putih.

“Aku tidak mau yang kecil, aku mau yang besar itu!” tunjuk Bawang Merah ke arah labu besar yang ada di belakang si nenek.

Nenek itu menatapnya sejenak lalu mengizinkan Bawang Merah membawa labu yang besar.

Ketika Bawang Merah pulang, dia tampak kesulitan membawa labu besar di tangannya. Bawang Merah dan ibunya sangat senang.

“Ayo cepat! Ibu sudah tidak sabar! Kita akan kaya raya!” Ibunya meyakinkan.

Mereka segera membanting labu besar itu ke tanah. Tapi apa yang terjadi? Bukannya mendapatkan emas, yang keluar dari labu itu malah seekor ular yang langsung menyerang mereka berdua. Dalam sekejap, Bawang Merah dan ibunya lari ketakutan dan tidak berani lagi kembali ke rumah Bawang Putih. (Tamat)

-- Akhir --

Bagikan Cerita

Baca tulisan menarik lainnya

Punya Naskah Cerita Sendiri?

Kirim Naskahmu Sekarang!

Naskah-Homepage